Selasa, 12 Januari 2010

makalah dinasti abbasiyah dan perkembangan tasawuf, studi peradapan islam

MAKALAH

DINASTI ABBASIYAH
DAN PERKEMBANGAN TASAWUF


Diajukan dalam diskusi kelas dalam mata kuliah
Studi Peradapan Islam yang dibina oleh :
Bapak Prof. Dr. Miftah Arifin, M.Ag













Oleh :

MUHASIB
NIM : 084 099 007







PROGRAM PASCA SARJANA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) JEMBER
OKTOBER 2009

I.PENDAHULUAN
Khalifah Abbasiyah ialah khalifah islam setelah khalifah Umayyah. Pemerintahan dinasti Abbasiyah dikenal sebagai pemerintahan masa revolusi islam karena keberhasilan dinasti Abbasiyah dalam memajukan peradaban islam. Masa Daulah Bani Abbasiyah disebut-sebut sebagai masa keemasan islam, atau dikenal dengan istilah ” The Golden Age”. Dikarenakan pada masa itu umat islam telah mencapai puncak kejayaan, baik dalam bidang ekonomi, peradaban dan kekuasaan. Dan juga berkembangnya berbagai cabang ilmu pengetahuan, ditambah dengan banyaknya penerjemah buku-buku dari bahasa asing ke bahasa Arab. Dengan mewarisi imperium besar bani Umayyah. Hal ini memungkinkan daulah bani Abbasiyah dapat mencapai hasil lebih banyak, karena landasan telah dipersiapkan oleh daulah bani Umayyah yang besar.
Namun dengan menyokong imperium besar tersebut, justru sebagai penyebab kehancuran dan tranformasi imperium bani Abbasiyah. Bahkan kehancuran bani Abbasiyah terjadi disaat berlangsungnya konsolidasi. Disamping itu kemunduran dinasti Abbasiyah disebabkan hidup mewah para khalifah Abbasiyah dan keluarganya serta para pejabat pemerintahan karena harta kekayaan yang melimpah dari hasil wilayah yang luas, ditambah lagi dengan industri olahan yang melimpah dan tanah yang subur.

II.PEMBAHASAN
A.Kondisi Khalifah-Khalifah dan Imperium Daulat Bani Abbasiyah
Dinasti Abbasiyah adalah suatu dinasti (Bani Abbas) yang menguasai daulat (negara) Islamiah pada masa klasik dan pertengahan Islam. Daulat Islamiah ketika berada di bawah kekuasaan dinasti ini disebut juga dengan Daulat Abbasiyah. Daulat Abbasiyah adalah daulat (negara) yang melanjutkan kekuasaan Daulat Umayyah. Dinamakan Dinasti Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan Abbas (Bani Abbas), paman Nabi Muhammad SAW. Pendiri dinasti ini adalah Abu Abbas as-Saffah, nama lengkapnya yaitu Abdullah as-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas. Khalifah dinasti abbasiyah antara lain sebagai berikut :
Abul Abbas As-Saffh (133-137 H / 750-754 M),Abul Ja’far Al-Manshur (137-1159 H / 754-774 M), Al-Mahdi (159-169 H / 775-785 M), Musa Al-Hadi (169-170 H / 785-786 M), Harun Ar-Rasyid (170-194 H / 785-786 M), Al-Amin (194-198 H / 809-813 M), Al-Ma’mun (198-218 H / 813-833 M), Al-Mu’tasim (218-223 H/ 833-843 M), Al-Watiq (223-228 H / 842-847 M), Al-Mutawakil (841-861 M).
Khalifah bani abbas akhir (861-1262 M), terjadi dari 27 khalifah, antara lain: Muntasi: hanya 6 bulan, Nusta’in, Mutazz: hanya 3 bulan, Al-Muhtadi, Mutammid, Mutazid, Muktafi: 5 tahun, Muktadir: 25 tahun, Abu Mansur, Ar-Razi, Nuttaki, Mustafi, Al-Muti, At-Taii, Al-Kadir, Abu Ja’far: 24 tahun, Abu Kasim, Abdul Ahmad Abbas, Abu Manshur, Rasyid, Abu Abdullah, Abdul Muzaffar Yusuf, Abu Muhammad Hasan, Nasir: memerintah 41 tahun, Zahir: 1 tahun, Abu Ja’far Mansyur, Abu Ahmad Abdullah.1
Dalam kepemimpinan khalifah Abbassiyah yang akhir, dinasti mengalami kemunduran, mayoritas khalifah Abbasiyah akhir adalah orang yang lemah, suka senang-senang dan hanya menjadi boneka Turki, meskipun demikian ada sebagian khalifah Abbasiyah akhir yang bertanggung jawab atas kepimpinannya dan berusaha untuk memajukan Abbasiyah. Namun dia tak mampu berkuasa dengan penuh karena banyak kerajaan yang merdeka serta para gubernur dan pejabat melepaskan diri dari pemerintahan. Yang tersisa hanyalah mentri yang ambisius dan korup. Selama Dinasti Abbasiyah berkuasa. Pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik., sosial, dan budaya.2 Berdasar perubahan pola pemerintahan dan politik tersebut, maka masa pemerintahan bani Abbasiyah dibagi menjadi lima periode.
1.Periode pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M) periode pengaruh Persia pertama.
2.Periode kedua (232 H/847 M – 234 H/945 M) masa pengaruh Turki pertama.
3.Periode ketiga (334 H/945 M – 447 H/1055 M) masa kekuasaan dinasti Buwaih dalam pemerintahan daulat (masa pengaruh Persia kedua).
4.Periode keempat (447 H/1055 M/ – 590 H/1194 M) masa kekuasaan dinasti Saljuk dalam pemerintahan (masa pengaruh Turki kedua).
5.Periode kelima (590 H/1194 M – 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tapi kekuasaannya hanya efektif disekitar kota Baghdad.3
Dari kelima periode masa pemerintahan ini, hanya dalam periode pertama daulat Abbasiyah mencapai masa keemasan (secara politis, para kholifah betul-betul tokoh yang kuat, merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus dan kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tinggi) dan periode selanjutnya adalah periode kelemahan dan kemunduran daulat Abbasiyah. Imperium Abbasiyah mulai mundur pada masa pemerintahan khalifah al-Mutawakil.
1 Wahid, Ahmadi, Sejarah Kebudayaan Islam, Menjelajahi Peradapan Islam, Jakarta, 2008. hlm. 60.
2 Ibid, hlm.61
3 Ibid hlm, 62.
Pada masa ini aliran Mu’tazilah mulai tidak memainkan pemerintahan. Kahancuran dinasti Abbasiyah tidaklah terjadi dengan begitu saja tapi melalui proses yang lama, diawali dengan munculnya berbagai gerakan dan penberontakan. Diantara hal-hal yang menyebabkan kemunduran kerajaan Abbasiyah, antara lain:
a)Melebihkan bangsa asing dari pada bangsa arab.
Sebagai akibat dari kebijakan ini banyak orang Arab melakukan pemberontakan. Disamping itu, wibawa para khalifah telah memudar sejak masa Al-Watshiq dan Al-Mutawakkil. Sampai halifah terakhir. Tidak seorangpun yang mampu menjalankan roda pemerintahan baik setelah itu. Kehadiran mereka hanya seperti bayangan dan boneka saja. Para wazir dengan leluasa mengangkat dan menjatuhkan khalifah.
b)Ketergantungan pada tentara bayaran
Hal ini berakibat buruk bagi daulah Abbasiyah. Karena tentara baru mau menjalankan tugasnya jika mendapatkan bayaran yang besar. Apabila khalifah tidak berani membayar mahal tentara, kedudukannya akan terancam. Terutama dari para gubernur yang membangkang dan mau membayar tinggi tentara. Akhirnya banyak para gubernur yang memiliki tentara bayaran kuat, pada akhirnya menyatakanlepas dari pemerintahan Bagdad, sehingga muncul kerajaan-kerajaan kecil.
c)Fanatisme kebangsaan (persaingan antar bangsa)
Khalifah Abbasiyah didirikan bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang Persi. Persekutuan terjadi karena dilatar belakangi persamaan nasib kedua golongan itu pada masa bani Umayyah berkuasa. Keduanya sama-sama tertindas. Setelah khalifah Abbasiyah berdiri, dinasti Abbasiyah tetap mempertahankan persekutuan itu. Menurut styzewaka ada dua sebab dinasti abbas memilih orang-orang persia dari pada orang-orang arab. Pertama, sulit bagi orang-orang arab untuk melupakan bani Umayyah. Pada masa itu mereka merupkan warga kelas satu. Kedua. Orang-orang arab sendiri terpecah belah dengan adanya Ashabiyyah kesukuan. Dengan demikian, khalifah Abbasiyah tidak ditegakkan diatas ’Ashabiyah traditional. Padahal Islam telah memerangi fanatisme dan menyerukan seluruh umat supaya bersatu. Rasulullah saw sendiri telah menegaskan: ”Bukanlah dari umat kami orang yag menganjur-anjurkan fanatisme kesukuan atau yang yang berperang untuk membela fanatisme kesukuan”.kendati demikian orang arab masih mau kembali juga kepada fanatisne kekabilahan sebagai mana dahulu pada zaman jahiliyah. Orang arab menganggap bahwa darah yang mengalir ditubuh mereka adalah darah (ras) istimewa dan mereka menganggap rendah bangsa non-Arab di dunia Islam.
Selain itu kekuasaan Abbasiyah pada periode pertama sangat luas, meliputi berbagai bangsa yang berbeda. Seperti Maroko, Mesir, Syiria, Irak, Persia, Turki dan India. Mereka disatukan dengan bangsa Semit. Kecuali Islam. Pada waktu itu tidak ada kesadaran yang merajut elemen-elemen yang bermacam-macam tersebut dengan kuat. Akibatnya disamping fanatisme kearaban, muncul juga fanatisme bangsa-bangsa lain yang melahirkan gerakan Syu’ubiyah. Para khalifah menjalankan sistem perbudakan baru, budak-budak bangsa Persia atau Turki dijadikan pegawai dan tentara. Mereka diberi nasab dinasti dan mendapat gaji. Oleh bani Abbas mereka dianggap sebagai hamba. Sistem perbudakan ini telah mempertinggi pengaruh bangsa Persia dan Turki. Karena jumlah dan kekuatan mereka yang besar. Mereka merasa bahwa negara adalah milik mereka. Mereka memiliki kekuasaan atas rakyat berdasarkan kekuaaan khafilah.
Kecendrungan masing-masing bangsa untuk mendominasi kekuasaan sudah dirasakan sejak awal khalifah Abbasiyah berdiri. Akan tetapi karena para khalifah adalah orang-orang kuat yang mampu menjaga keseimbangan kekuatan, stabilitas politik dapat terjaga. Setelah Al-Mutawakkil. Seorang khalifah yang lemah naik tahta, dominasi bangsa turki tak terbendung lagi. Sejak itu kekuasaan bani Abbas sebenarnya sudah berakhir. Kekuasaan berada ditangan orang-orang Turki. Kemudian posisi ini direbut oleh bani Buwaih. bangsa Persi. Pada periode ketiga. Dan selanjutnya beralih kepada dinasti Seljuk pada periode keenpat.
d)Kemerosotan ekonomi
Khalifah Abbasiyah mengalami kemunduran dibidang ekonomi bersamaan dengan kemunduran dibidang politik. Pada periode pertama, pemerintahan bani Abbas mengalami kejayaan dana yang masuk lebih besar dari pada yang keluar, sehingga Bait al-Mal penuh dengan harta, pertambahan dana yang besar diperolah antara lain al-Kharaj, semacam pajak hasil bumi. Setelah  periode pertama khalifah mengalami periode kemunduran, pendapatan negara menurun sementara pengeluaran meningkat lebih besar. Menurunnya pendapatan negara itu disebabkan oleh makin menyempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat, diperingannya pajak dan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dan tidak lagi membayar upeti. Sedangkan pengeluaran membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan para khalifah dan para pejabat melakukan korupsi. Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan perekonomian negara morat-marit. Sebaliknya, kondisi ekonomi yang buruk memperlemah kekuatan politik dinasti Abbasiyah kedua faktor ini saling berkaitan dan tak terpisahkan.
e)Timbulnya kerajaan-kerajaan yang bebas dari kekuasaan bani Abbas
Kelemahan kedudukan khalifah dinasti Abbasiyah di Bagdad, yang disebabkan oleh luasnya wilayah kekuasaan yang kurang terkendali, ketergantungan kepada tentara bayaran. Kesulitan ekonomi dan persoalan politik lainnya, menimbulkan disintegrasi wilayah yang sikuasai oleh masing-masing penguasa setempat. Para penguasa ini ketika terjadi ketegangan di dalam kekuasaan istana Bagdad, mencoba memisahkan diri dari pemerintahan Abbasiyah di Bagdad. Adapun diantara kerajaan-kerajaan Islam yang memisahkan diri dari kekuasaan Abbasiyah adalah :
a.Dinasti Umayyah di Andalusia
b.Dinasti Idrisiyah di Maroko
c.Dinasti Aghlabiyyah (184-296 H / 800-909M)
d.Dinasti Thukuniyyah (254-292 H / 868-905 M)
e.Dinasti Ikhsyidi (323-358 H / 935- 969 M)
f.Dinasti Hamdaniyah (293-394 H / 905-1004 M)
g.Dinasti Thahiriyah (205-259 H/ 821-873 M)
f)Kuatnya pengaruh faham sufi dan taklid
Ilmu tasawuf adalah ilmu hakekat yang pada intinya mengajarkan penyerahan diri kepada tuhan, meninggalkan kesenangan dunia dan hidup menyendiri untuk beribadah kepada Allah. Ilmu ini banyak berpengaruh dalam kehidupan masyarakat Islam setelah serangan bangsa Mongol dan hancurnya pusat peradaban islam  Bagdad. Praktek mistik ajaran agama lain. Sehingga disana ditemukan adanya penyimpangan ajaran. Begitupun soal taqlid, karena masyarakat Islam tidak mau berijtihad lagi, akhirnya terikat dengan ajaran para tokoh sebelumnya dan bertaqlid buta. Bersamaan dengan lahirnya ilmu tasawuf pada zaman daulah bani Abbasiyah, muncul pula ahli-ahli dan ulama-ulamanya, di antara mereka itu adalah:
1.Al Qusyairi yaitu abu kasim Abdul Karim bin Hawazin al Qusyairi, wafat tahun 465 H. Kitab tasawuf yang terkenal ”Ar Risalatul Qusyairi”.
2.Syahabuddin, yaitu Abu Hafas Umar bin Muhammad Syahabuddin Sahrawardy, wafat di Bagdad tahun 632 H. Kitab tasawufnya ”Awaritul Ma’arif”.
3.Imam Ghazali, yaitu Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al Ghazali lahir di Thus dalam abad ke V H. Meninggal pada tahun 502 H. Dalam Fiqh menganut mazhab Syafi’i, beliau membawa aliran baru dalam dunia tasawuf dengan kitabnya Ihya Ulumuddin.
g)Faktor eksternal
Faktor eksternal disebabkan oleh adanya perang salib yang berkepanjangan dalam beberapa gelombang dan penyerbuan bangsa mongol. Adapun puncak keruntuhan bani abbas adalah penyerbuan bangsa mongol dan Tartar yang dipimpin oleh Hulagu Khan, yang berhasil menjarah semua pusat-pusat kekuasaan maupun pusat ilmu, yaitu perpustakaan di Baghdad.

B.Faktor – Faktor Munculnya Dinasti Abbasiyah
Dinasti Abbasiyah yang berkuasa selama lebih kurang enam abad ( 132 – 656 H/ 750-1258 M ), didirikan oleh Abul Abbas al- Saffah dibantu oleh Abu Muslim al-Khurasani, seorang jendral muslim yang berasal dari Khurasan, Presia. Gerakan-gerakan perlawanan untuk melawan kekuasaan dinasti Bani Umayyah sebenarnya sudah dilakukan sejak masa-masa awal pemerintahan dinasti Bani Umayyah, hanya saja gerakan tersebut selalu digagalkan oleh kekuatan militer Bani Umayyah, sehingga gerakan-garakan kelompok penentang tidak dapat melancarkan serangannya secara kuat. Tapi dimasa-masa akhir pemerintahan dinasti Bani Umayyah gerakan tersebut semakin menguat seiring banyaknya protes dari masyarakat yang merasa tidak puas atas kinerja dan berbagai kebijakan pemerinatah dinasti Bani Umayyah. Gerakan ini menemukan momentumnya ketika para tokoh dai Bani Hasyim melancarkan serangannya.
Para tokoh tersebut antara lain Muhammad bin Ali, salah seorang keluarga Abbas yang menjadikan kota Khufa sebagai pusat kegiatan perlawanana. Gerakan Muhammad bin Ali mendapat dukungan dari kelompok Mawali yang selalu ditempatkan sebagai masyarakat kelas dua. Selain itu, juga dukungan kuat dari kelompok Syi’ah yang menuntut hak mereka atas kekuasaan yang pernah dirampas oleh dinasti Banui Umayyah. Akhirnya pada tahun 132 M H/ 750 M, Marwan bin Muhammad dapat dikalahkan dan akhrinya tewas mengenasakan di Fustat, Mesir pada 132 H / 705 M. Sejak itu, secara resmi Dinasti Abbasiyah mulai berdiri.
C.Perkembangan Tasawuf Daulat Bani Abbasiyah
Pada masa Abbasiyah telah hadir Dzu al-Nun Al-Mishri, ia dilahirkan di Mesir pada tahun 190-an Hijriah, dikenal sebagai pengkritik prilaku ahli hadis-Ulama fiqh, Hadis, dan teologi- yang dinilai mempunyai perselingkuhan dengan duniawi, sebuah kritikan yang membuat para Ahlu al-Hadist kebakaran jenggot dan mulai menyebut al-Mishri sebagai Zindiq, pada tingkat penolakan yang kuat oleh ahlu al-hadist membuat ia memutuskan untuk pergi ke Baghdad yang saat itu dipimpin oleh khalifah al-Mutawakkil, setelah ia diterima oleh khalifah dan dikenal dalam lingkungan istana, pihak Mesir pun menjadi segan kepadanya, al-Mishri dikenal sebagai orang pertama yang mengenalkan maqamat dalam dunia sufi dan telah dikenal sebagai sufi yang dikenal luas oleh para peneliti tasawuf. Pemikirannya menjadi permulaan sistematisasi perjalanan ruhani seorang sufi. Ia meninggal pada tahun 245 H di Qurafah Shugra dekat Mesir. Setelah Al-Misri, datang seorang sufi bernama Surri al-Saqathi pada 253 H, ia mengenalkan uzlah-uzlah yang sebelumnya hanya dikenal sebagai tindakan menyendiri secara personal, dikembangkan al-Saqathi menjadi “uzlah kolektif”, uzlah yang ditujukan untuk menghindari kehidupan duniawi yang melenakan ataupun kehidupan duniawi yang penuh degan pertentangan, intrik dan pertumpahan darah. Pada masa-masa diatas telah mulai dikenal istilah sufi di beberapa kalangan, sebuah sebutan bagi mereka yang menghindari secara ketat terhadap kesenangan duniawi dan memilih untuk memfokuskan diri pada perkara uhkrawi (kelak konsep uzlah inilah yang banyak dianut oleh tasawuf sunni dikemudian hari).
Abu Yazid al-Bustami pada 260 H/873 M, seorang sufi Persia yang mulai mengenalkan konsep ittihad atau penyatuan asketis dengan Tuhan, penyatuan tersebut menurutnya dilalui dengan beberapa proses, mulai fana’ dalam dicinta, bersatu dengan yang dicinta, dan kekal bersamanya. wajar jika al-Bistami dianggap oleh Nicholson sebagai pendiri tasawuf dengan ide orisinil tentang wahdatul wujud di timur sebagaimana theosofi yang meruapakan kekhasan pemikiran Yunani. Pengaruh Abu Yazid saat itu sangat luas bukan hanya di dunia muslim tapi menembus hingga batas-batas agama. Tapi tentu ungkapan-ungkapan al-Bistami telah menghadirkan pertentangan dengan Ulama’ Hadis, mereka mengcam pandangan-pandangan pantheisme al-Bistami yang di anggap sesat. Pasca Al-Bishtami, Al- Junaidi pada 297 H/909 M hadir dengan coba mengkompromikan tasawuf dengan syariat, hal ini ia lakukan setelah melihat banyaknya pro-kontra antara sufi dan ahlu al-hadis di masanya, lagi pula al-Junaid juga mempunyai basik sebagai seorang ahli hadis dan fiqh. Dengan apa yang dilakukannya, al-Junaid berharap kalangan ortodoksi Islam tidak menghakimi kaum tasawuf sebagai kaum yang sesat. Dan rupanya al-Junaid berhasil, minimal ia telah mengubah cara pandang kalangan ortodoksi terhadap tasawuf. Tampil bersama dengan al-Junaid, al-Kharraj (277 H) yang juga menelurkan karya-karya kompromistis antara ortodoksi Islam dan tasawuf.
Al-Hallaj, murid al-Junaid yang hidup pada 244-309 H/858-922 M hadir dengan lebih berani dan radikal, sufi yang juga pernah berguru pada para guru sufi di bashra ini hadir dengan konsep hulul yaitu konsep wahdatul wujud dalam versi yang lain, jika al-Bistami memulainya dengan fana’ fillah, maka al-Hallaj mengemukakan pemikiran al-hulul yang berangkat dari dua sifat yang dipunyai manusia yaitu nasut dan lahut dengan cara mengosongkan nasut dan mengisinya dengan sifat lahut maka manusia bisa ber-inkarnasi dengan Allah atau yang terkenal dengan istilah hulul, dan seterusnya. Al-Hallaj tidak memakai tedeng aling-aling dalam menceritakan pengalaman spiritualnya dalam khalayak umum, baginya yang ada hanyalah Allah, tidak ada sesuatu pun yang harus ditutupi dari sebuah kebenaran, baginya kecintaan pada Allah dan “persetubuhan” dengan Allah dapatlah diraih, bahkan saat al-Hallaj dipasung ia sempat berkata,”Ya Allah ampunilah mereka yang tidak tahu, seandainya mereka tahu tentu mereka tidak akan melakukan hal ini”.
Para sufi-sufi diatas kemudian diklasifikasikannya sebagai sufi falsafi dan sufi amali akhlaqi, diantara yang termasuk tasawuf falsafi adalah al-Hallaj, al-Farabi, dan al-Bistami, dan diantara yang menganut tasawuf amali adalah al-Junaid dan al-Kharraj. Kaum falsafi biasanya diidentikkan dengan konsep sakr (kemabukan) dan isyraqiyah (pancaran), adapun tasawuf amali atau akhlaqi biasanya diknal dengan konsep sahw (ketenangan hati) dan zuhd.
a)Tasawuf Masa Kematangan
Evolusi dunia tasawuf masih terus berlangsung dalam mencari bentuknya, pengalaman-pengalaman esoteric dan asketis diceritakan dan dirangkai secara ilmiah. Dipadukan dengan justifikasi-justifikasi ortodoksi. Pada masa al-Ghazali (450-505 H/1058-1111 M), istilah-istilah tasawuf telah mendapatkan definisinya, ketika seorang sufi menyebut satu istilah, maka yang lainnya akan segera paham dengan apa yang dimaksud. Masa ini adalah masa titik puncak dimana tasawuf telah menemukan bentuknya. Menjadi seorang sufi pada masa ini tidaklah semudah menjadi sufi pada masa awal. Menjadi sufi pada masa ini haruslah melalui prasyarat-prasyrat yang telah dibangun oleh Ulama’-Ulama’ sebelumnya, terutama hal ini Nampak pada tradisi tasawuf amali yang banyak berlaku di kalangan sunni, sedangkan di kalangan syi’i pengaruh itu dapat kita temui hanya pada tataran pemikiran mulai dari neo-platonisme hingga menjadi theosofi pancaran/pencahayaan.
Al-Ghazali hadir menawan siapa saja yang melihatnya, ia menyerang budaya theosofi falsafi yang dianut oleh banyak para Filosuf dan sufi falsafi. Seperti halnya al-Junaid ia juga mencoba menarik kembali budaya-budaya sufistik ke dalam ortodoksi Islam, ia mengenalkan konsep ma’rifah sebagai jalan tengah pantheisme yang terjadi pada kaum falsafi. Banyak buku yang dilahirkannya, tapi petunjuk besarnya adalah kitab ihya’ ulum al-din yang ditulis mendekati akhir hidupnya di kota Makkah, karyanya yang paling tebal dan memuat apa saja yang harus dilakukan oleh seorang pencari Tuhan. Al-Ghazali menandai dimana era tasawuf dapat diterima secara luas di kalangan sunni tanpa rasa takut dihukum penguasa. Tasawuf dianggap sebagai jalan alternative yang begitu digandrungi. Tapi pada saat itu pelembagaan amaliah-amaliah dalam pengajaran tasawuf belumlah terjadi. Amaliah dilakukan dengan fleksibel dan lebih berorientasi pada makna. Karangan-karangan Ulama’ masih diangap sebagai sebuah teori dalam ilmu sosial dan belum dianggap sebagai hukum layaknya dalam ilmu fisika.
Para murid yang berpindah-pindah guru setelah menyelesaikan suatu disiplin limu masih sesuatu yang lazim dilakukan. Tapi pada saat banyak tertariknya msyarakat luas akan dunia tasawuf dengan berbagai faktornya membuat para guru sufi merasa perlu untuk tetap memperhatikan perkembangan para murid yang berada dalam bimbingannya. Murid bimbingan yang awalnya hanya beberapa atau beberapa puluh, pada masa ini telah mekar menjadi beberapa ratus bahkan ribu hingga membuat para masayikh mengutus dan memercayakannya menjabat sebagai wakil dirinya di beberapa kesempatan dan tempat. Dari sini kemudian berlanjut pada madhab tasawuf guru siapa yang dianut.
b)Kristalisasi Tasawuf ke Tarekat
Tuntunan al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-din dan Bidayah al-Hidayah rupanya telah diterjemahkan oleh para pengikut di sekitarnya dengan kelahiran amaliah-amaliah yang memerlukan panduan guru (syaikh). Jalan tasawuf biasanya diikuti dalam konteks kelompok. Kelompok para salikin (pencari Tuhan) yang mengitari Syaikh-nya, hal ini biasa disebut sebagai halaqah: Lingkaran. Para anggota halaqah berhubungan erat sebagai sesama musafir di jalan menuju Tuhan. Pada akhirnya ligkaran-lingkaran awal ini bergabung membentuk tarekat: jalan, persaudaran. Tarekat-tarekat itu sendiri muncul beranjak dari sebuah kesadaran membuat sistematika taqarrub kepada Allah dan dari sebuah kesadaran yang timbul dari para syeikh-Syeikh tarekat yang merasa perlu memberi sebuah thariqah pada murid-murid tarekat, sebuah jalan yang dianggap sebagai bentuk implementasi pemikiran tasawuf. Dari sana kemudian para masayikh memberikan binaan kepada muridnya dalam metodologi pencapaian makrifat.
Dari sana pula kemudian timbul bagaimana seorang murid harus memulai pencariannya untuk menemukan wujud Allah, kemudian diatur pula tentang bagaimana adab murid terhadap guru, juga bagaimana tatacara berdzikir pada Allah. Abu Sa’id Ibn Abi al-Khayr dianggap sebagai sufi petama yang menyusun aturan-aturan peribadatan dan menyusun kitab etika kehidupan komunal. Tarekat pertama yang berdiri secara resmi dalam dunia Islam adalah tarekat qadiriyah dengan syeikh agungnya Muhibbin Abu Muhammad Abdul al-Qodir al-Jilani pada 1166 M, setelah qadiriyah hadir tarekat rifaiyah yang didirikan oleh Ahmad Ar-Rifa’I (1175 M), tarekat Suhrawardi yang dinisbatkan pada Abu Nadjib al-Suhrawardi secara defacto didirikan oleh kemenakannya Umar al-Suhrawardi (1145-1234 M), tarekat maulawiyah menjadi terekat keempat yang muncul, tarekat ini muncul di Anatolia, didirikan oleh penggubah puisi mistik agung Jalaluddin al-Rumi (1273 M), syadiliyah menjadi terekat yang didirikan selanjutnya oleh Ali al-Shadhili (1256 M)-dari tarekat syadiliyah ini kemudian pada abad 15 berdiri tarekat isawiyah-, berlanjut ke tarekat badawiyah yang muncul di selatan Mesir didirikan oleh Ahmad Badawi (1274 M), naqsyabandiyah yang didirikan oleh Muhammad bin Muhammad Bahauddin al-Uwaisi al-Bukhari Naqsyabandi yang hidup pada 717-791 H/1318-1389 M menjadi terkat yang muncul setelah tarekat-tarekat sebelumnya, tarekat syattariyah yang didirikan oleh Abdullah al-Syattar, tarekat sanusiyah yang dinisbatkan pada Sidi (Sayyidi) Muhammad bin Ali al-Sanusi, seorang syaikh dari Algeria (1791-1859 M) yang berkembang luas di Afrika Utara.
Sebagian tarekat diatas banyak dianut di daerah Asia Tengah dan Asia Tenggara termasuk beredar luas di Indonesia bahkan ada yang menfusikan menjadi tarekat qadiriyah-naqsyabandiyah, yaitu gabungan antara tarekat qadiriyah dan naqsyabandiyah. Ada yang bertanya mengapa bukan tarekat taifuriyah yang notebene dinisbatkan pada tokoh sebelum orang-orang diatas, hal itu karena dalam terekat taifuriyah tidaklah didirikan oleh orang yang menjadi nisbat dalam nama tarekat tersebut tetapi didirikan oleh keturunannya ataupun oleh muridnya yang hidup setelah tokoh yang menjadi nisbat itu meninggal, atau tepatnya setelah kehidupan tarekat marak di dunia Islam. Mereka rata-rata berbicara tentang tahapan-tahapan (maqamat-maqamat) yang harus dilalui seorang murid seperti apa yang telah penulis kemukakan diatas. Metode pencapaian Tuhan yang diterapkan oleh masayikh tersebut telah secara tidak langsung telah menelurkan lembaga-lembaga terekat yang menaungi para pengikut tarekat yang terdiri dari Syaikh, Murid, dan funduq (tempat penginapan) untuk melatih para murid tarekat dalam pencapaian menuju Tuhan. Dan biasanya bertempat di pedesaan atau pegunungan. Periodesasi tarekat ini oleh Georges C. Anawati dipandang secara garis besar sebagai masa kemunduran gerakan sufisme. Karena bagi Anawati, pada masa ini secara garis besar tidak ada lagi ide yang orisinil yang muncul dari dunia tasawuf.

III.KESIMPULAN
Dinasti Abbasiyah adalah suatu dinasti (Bani Abbas) yang menguasai daulat (negara) Islamiah pada masa klasik dan pertengahan Islam. Daulat Islamiah ketika berada di bawah kekuasaan dinasti ini disebut juga dengan Daulat Abbasiyah. Daulat Abbasiyah adalah daulat (negara) yang melanjutkan kekuasaan Daulat Umayyah. Dinamakan Dinasti Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan Abbas (Bani Abbas), paman Nabi Muhammad SAW.
Kahancuran dinasti Abbasiyah tidaklah terjadi dengan begitu saja tapi melalui proses yang lama, Diantara hal-hal yang menyebabkan kemunduran kerajaan Abbasiyah, antara lain:
a)Melebihkan bangsa asing dari pada bangsa arab.
b)Ketergantungan pada tentara bayaran
c)Fanatisme kebangsaan (persaingan antar bangsa)
d)Kemerosotan ekonomi
e)Timbulnya kerajaan-kerajaan yang bebas dari kekuasaan bani Abbas
f)Kuatnya pengaruh faham sufi dan taklid
g)Faktor eksternal
Sedangkan Tasawuf berawal dari kesederhanaan dan kesalehan yang ditunjukkan dalam kehidupan Muhammad SAW dan para sahabatnya, sikap ini pada masa Umawiyah berkembang menjadi asketisme yang menekankan prilaku zuhd, khauf serta mahabbah oleh beberapa orang. Generasi kedua kemudian lebih intens lagi dalam mensistematisir kualitas hubungannya dengan sang pencipta, hal itu kemudian menjadi penanda lahirnya tasawuf, dunia orang-orang yang berasyik masyuk dengan dunia spiritual keagamaan, tasawuf awal mengenalkan konsep uzlah kolektif kemudian pula dikenal maqamat-maqamat, setelah itu dikenal musyahadah kemudian dikenal wahdatul wujud, terus berkompromi dengan syariat menjadi mukasyafah. Dan kemudian mengkristal menjadi tarekat sebagai jalan untuk mereka yang ingin mencapai Tuhan dengan para syeikh-nya yang menjadi pembimbing.
Tentu, penyelidikan ini bukanlah penyelidikan yang final, studi yang lebih intens bisa dilakukan untuk menguak tabir evolusi tasawuf dalam dunia Islam, penelitian dapat dilanjutkan pada bagaimana sebuah pemikiran ber-metamorfosa, bagaimana pula pengaruh wilayah dan kehidupan para sufi berpengaruh terhadap jalan pemikirannya. Karena penulis beranggapan bahwa sebuah pemikiran tidak mengkin langsung mempunyai bentuk jika maternya tidak ada. Jadi pasti ada materi dan bentuk awal yang melandasi setiap pemikiran para sufi dan bagaimana ia mencerna zamannya dalam pemikirannya, jadi ada semacam keterkaitan pemikiran dengan pemikiran lain dan juga yang paling penting adalah pengalaman sufistik yang dialami oleh para sufi. Yang perlu digali lagi adalah gerakan-gerakan yang terdapat dalam tarekat bagaimana ia bermula dan bagaimana pula ia dianggap sebagai sebuah riual dan kebenaran dalam mencari Tuhan. Bagaimana pula terdapat perbedaan yang sangat kontras antara gerakan satu tarekat dengan gerakan tarekat lain.

IV.PENUTUP
Puja dan puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. serta salawat serta salam  kita haturkan pada junjungan nabi besar Muhammad SAW, dengan kesabaran dan kasih sayangnya terhadap kita sebagai umatnya membimbing kita dari zaman kegelapan pada zaman yang penuh berkah dan kebahagiaan  seperti sekarang ini. Demikian makalah yang dapat kami sampaikan semoga apa yang terdapat dalam pembahasan makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua pada umumnya, dan khususnya bagi para pembaca. Apabila dalam makalah ini terdapat kesalahan baik dalam penulisan maupun pemaparannya, kami selaku pemakalah mohan maaf. Dan tidak lupa kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun, sehingga dapat dijadikan bahan perbaikan makalah yang akan datang.




DAFTAR PUSTAKA
Lapidus, Ira M, Sejarah Sosial Umat Islam , Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999
Syukur, Amin, Menggugat Tasawuf, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999
Siregar, Rivay, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo Klasik, Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2000
Sviri, Sara, Demikianlah Kaum Sufi Berbicara, Bandung: Pustaka Hidayah, 2002
Yafie, Ali, Syariah, Thariqah dan haqiqah, dalam kumpulan Artikel Yayasan Paramadina, Budhi Munawar Rachman (ed),Kontktualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, Jakarta:Paramadina Press,tt
Wahid, Achmadi, Drs. Sejarah Kebudayaan Islam, Menjelajahi Peradapan Islam, Jakarta, 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar