Selasa, 12 Januari 2010

studi pemikiran islam, hasan hanafi raji al_faruqi

MAKALAH

KALAM KONTEMPORER
RAJI AL – FARUQI DAN HASAN HANAFI


Diajukan dalam diskusi kelas dalam mata kuliah
Studi Pemikiran Islam yang dibina
oleh : Bapak Dr. Moniron, M.Ag






















Oleh :

MUHASIB
NIM : 084 099 007







PROGRAM PASCA SARJANA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) JEMBER
OKTOBER 2009

A.PENGANTAR
Dalam makalah ini kami akan memaparkan sedikit tentang pemikiran Ismail Raji Al – Faruqi dan Hasan Hanafi yang mana mereka sama – sama membangun islam dan kaum muslimin yang di awali oleh komitmen teguhnya pada islam. Oleh karena itu kepemimpinan mereka yang mendedikasikan diri pada pembaharuan dan reformasi. Baginya, kerja merupakan dakwah sesungguhnya, pergulatan nyata untuk merealisasikan dan mengaktualisasikan islam dan sejarah.

B. Pemikiran Kalam Raji Al - Faruqi
Pemikiran kalam Al – Faruqi tentang kalam dalam ditelusuri melalui karyanya yang berjudul, Tahwid: Its Implication for Thought and Life (Edisi indonesianya berjudul Tauhid). Sesuai dengan judulnya.buku ini mengupas hakikat tauhid secara mendalam. Al – Faruqi menjelaskan hakikat tauhid sebagai berikut :
a.Tauhid sebagai inti pengalaman agama
Inti pengalaman agama, kata Al – Faruqi adalah tuhan. Kalimat shahadat menempati posisi sentral dalam setiap kedudukan, tindakan dan pemikiran setia muslim. Kehadiran tuhan mengisi kesadaran muslim dalam setiap waktu. Bagi kaum muslimin, Tuhan banar – banar merupakan obsesi yang agung.1 Esesnsi pengalaman agama islam tiada lain adalah realisasi prinsip bahwa hidup dan kehidupan ini tidaklah sia – sia.2
b.Tauhid sebagai pandangan dunia
Tauhid merupakan pandangan umum tentang realitas, kebenaran, dunia, ruang, dan waktu, sejarah manusia dan takdir.
c.Tauhid sebagai intisari islam
Dapat dipastikan bahwa esensi peradapan adalah islam sendiri, dan esensi islam adalah tauhid atau pengesaan tuhan. Tidak ada satu perintahpun dalam islam yang dapat dilepaskan dari tauhid. Tanpa tauhid islam tidak akan ada. Tanpa tauhid bukan hanya sunnah nabi yang patut diragukan, bahkan pranata kenabianpun menjadi sirna.4

1)Ismail Raji Al-Fauqi, Tauhid, terjemah. Rahmani Astuti, Pustaka, 1988, hlm. 1.
2)Ibid, hlm.13
3)Ibid, hlm. 16, 17, 18.

d.Tauhid sebagai prinsip sejarah
Tauhid menempatkan manusia pada suatu etika berbuat atau bertindak, yaitu etika ketika keberhargaan manusia sebagai pelaku moral yang di ukur dari tingkat keberhasilan yang dicapainya dalam mengisi aliran ruang dan waktu, Eskatologi islam tidak mempunyai sejarah formatif. Ia terlahir lengkap dalam Al – Qur’an dan tidak mempunyai kaitan dengan situasi para pengikutnya pada masa kelahirannya seperti halnya dalam agama Yahudi dan Kristen. Ia dipandang sebagai suatu klimaks moral bagi kehidupan diatas bumi.4
e.Tauhid sebagai prinsip pengetahuan
Berbeda dengan “iman” Kristen, iman islam adalah kebenaran yang diberikan kepada pikiran, bukan kepada perasaan manusia yang mudah mempercayai apa saja, kebenaran, atau proposisi iman bukanlah misteri, hal yang sulit dipahami dan tidak dapat diketahui dan tidak masuk akal, melainkan bersifat kritis dan rasional. Kebenaran – kebenarannya telah dihadapkan pada ujian keraguan dan lulus dalam keadaan utuh dan ditetapkan sebagai kebenaran.5
f.Tauhid sebagai prinsip metafisika
Dalam islam, alam adalah ciptaan dan anugrah. Sebagai ciptaan, ia bersifat teleologis, sempurna , dan teratur, sebagai anugrah, ia merupakan kebaikan yang tak mengandung dosa yang disediakan untuk manusia. Tujuannya adalah memungkinkan manusia melakukan kebaikan dan mencapai kebahagiaan. Tiga penilaian ini, keteraturan, kebertujuan, dan kebaikan, menjadi cirri dan meringkas pandangan umat islam tentang alam.6
g.Tauhid sebagai prinsip etika
Tauhid menegaskan bahwa Tuhan telah memberi amanahnya kapada manusia, suatu amanah yang tidak bias dipikul oleh langit dan bumi, amanah yang mereka hingdari dengan penuh ketakutan. Amanah atau kepercayaan Ilahi tersebut berupa pemenuhan unsure etika dari kehendak Ilahi, yang sifatnya mensyaratkan bahwa ia harus direalisasikan dengan kemerdekaan,

4)Ibid, hlm. 35, 37.
5)Ibid, hlm.42
6)Ibid, hlm. 51.

dan manusia adalah satu – satunya mahluk yang mampu melaksanakannya. Dalam islam, etika tidak dapat dipisahkan dari agama dan bahkan dibangun diatasnya.7
h.Tauhid sebagai prinsip tata social
Dalam islam, tidak ada perbedaan antara manusia satu dan lainnya, masyarakat islam adalah masyarakat terbuka dan setiap manusia boleh bergabung dengannya, baik sebagai anggota tetap ataupun sebagai yang dilindungi (dzimmah). Masyarakat islam harus mengembangkan dirinya untuk mencakup seluruh umat manusia. Jika tidak, ia akan kehilangan klaim keislamannya. Selanjutnya, ia mungkin akan hidup sebagai komonitas islam yang lain, atau oleh komonitas non-Islam.8
i.Tauhid sebagai prinsip ummah
Al – Faruqi menjelaskan prinsip ummah tauhidi dengan tidak identitas: pertama menentang etnosentrisme. Maksudnya, tata social islam universal, mencakup seluruh umat tanpa kecuali, tidak hanya untuk segelintir etnis. Kedua, universalisme. Maksudnya, islam bersifat universal dalam arti meliputi seluruh manusia. Cita – cita komonitas universal adalah cita – cita islam yang di ungkapkan dalam ummah dunia. Ketiga,Totalisme. Maksudnya islam relevan dengan setiap bidang kehidupan manusia. Totalisme tata social islam tidak hanya menyangkut aktivitas manusia dan tujuannya dimasa mereka saja, tetapi juga mencakup seluruh aktivitas disetiap masa dan tempat. Keempat,Kemerdekaan. Maksudnya, tata social islami adalah kemerdekaan. Jika dibangun dengan kekerasan atau dengan memaksa rakyat, islam akan kehilangan sifatnya yang khas.9
j.Tauhid sebagai prinsip keluarga
Al – Faruqi memandang bahwa selama tetap melestarikan identitas mereka dari gerogotan komonisme dan idiologi – idiologi barat, umat islam akan menjadi masyarakat yang selamat dan tetap menempati kedudukannya yang terhormat. Keluarga islam memiliki peluang lebih besar untuk tetap lestari sebab di topang oleh hokum islam dan diterminisi oleh hubungan erat dengan tauhid.10
7)Ibid, hlm. 61, 64.
8)Ibid, hlm. 102.
9)Ibid, hlm. 109, 110, 111, dan 112.
10)Ibid, hlm. 137.
k.Tauhid sebagai prinsip tata politik
Al – Faruqi mengaitkan tata politik tauhidi dengan kekhalifaan didefinisikan sebagai kesepakatan tiga deminsi, yakni kesepakatan wawasan (ijma’ al-ruya’). Wawasan yang dimaksud Al – Faruqi adalah pengetahuan akan nilai – nilai yang membentuk kehendak Ilahi. Kehendak yang dimaksud Al – Faruqi juga apa yang disebut ashabiyah ,yakni kepedulian kaum muslimin menanggapi peristiwa – peristiwa dan situasi dengan satu cara yang sama, dalam kepatuhan yang padu terhadap seruan Tuhan. Adapun yang dimaksud dengan tindakan adalah pelaksanaan kewajiban yang timbul dari kesepakatan.11
l.Tauhid sebagai prinsip tata ekonomi
Al – Faruqi melihat bahwa premis mayor implikasi islam untuk tata ekonomi melahirkan dua prinsip utama: Pertama, bahwa tak ada seorang atau kelompokpun boleh memeras yang lain. Kedua, tak satu kelompokpun boleh mengasingkan atau memisahkan diri dari umat manusia lainnya dengan tujuan untuk membatasi kondisi ekonomi mereka pada diri mereka sendiri.12
m.Tauhid sebagai prinsip estetika
Tauhid tidak menentang kreatifitas seni, juga tidak menentang kenikmatan dan keindahan. Sebaliknya, islam memberkati keindahan. Islam menganggap bahwa keindahan mutlak hanya ada dalam diri Tuhan dan dalam kehendaknya yang diwahyukan dalam firmannya.13

C.Pemikiran Kalam Hasan Hanafi
a.Kritik terhadap teologi tradisional
Dalam gagasannya tentang rekrontuksi teologi tradisional, Hanafi menegaskan perlunya mengubah orientasi perangkat kopseptual system kepercayaan (teologi) sesuai dengan perubahan konteks politik yang terjadi. Teologi tradisional, kata hanafi, lahir dalam konteks sejarah ketika inti keislaman system kepercayaan, yakni transidensi Tuhan, diserang oleh wakil dari sekte budaya lama. Teologi itu dimaksudkan untuk mempertahankan doktrin utama dan memelihara kemurniannya. Sementara itu, konteks social
11)Ibid, hlm. 149, 151, dan 154.
12)Ibid, hlm. 176.
13)Ibid, hlm. 207.

politik sudah berubah. Islam mengalami kekalahan diberbagai medan pertempuran sepanjang periode kolonialisasi. Oleh karena itu, kerangka konseptual lama masa – masa permulaan, yang berasal dari kebudayaan klasik, harus diubah menjadi kerangka konseptual baru yang berasal dari kebudayaan modern.14
Selanjutnya, Hanafi memandang bahwa teologi bukanlah pemikiran murni yang hadir dalam kehampaan kesejarahan, melainkan merefleksikan konflik – konflik social politik. Oleh karena itu, kritik teologi memang merupakan tindakan yang sah dan dibenarkan. Sebagai produk pemikiran manusia, teologi terbuka untuk kritik. Menurut Hanafi teologi sesungguhnya bukan ilmu tentang Tuhan, yang secara etimologi berasal dari kata theos dan logos, melainkan ilmu tentang kata (ilm al-kalam).15
Teologi demikian, lanjut Hanafi, bukanlah ilmu tentang Tuhan, karma Tuhan tidak tunduk pada ilmu, Tuhan mengungkapkan diri dalam sabdanya yang berupa wahyu. Ilmu kata adalah tafsir yaitu ilmu hermeneutic yang mempelajari analisis percakapan (discourse analysis), bukan saja dari segi bentuk – bentuk murni ucapan, melainkan juga dari segi konteksnya, yakni pengertian yang merujuk kepada dunia. Adapun wahyu sebagai manifestasi kemauan Tuhan, yakni sabda yang dikirim kepada manusia mempunyai muatan – muatan kemanusiaan.16
Hanafi ingin meletakkan teologi islam tradisional pada tempat yang sebenarnya, yakni bukan pada ilmu ketuhanan yang suci, yang tidak boleh dipersoalkan lagi dan harus diterima begitu saja secara taken for granted. Ia adalah ilmu kemanusiaan yang tetap terbuka untuk diadakan verifikasi dan falsifikasi, baik secara histories maupun edities.17
Secara praxis, Hanafi juga menunjukkan bahwa teologi tradisional tidak dapat menjadi sebuah “pandangan yang benar – benar hidup” dan memberi motivasi tindakan dalam kehidupan kongkret umat manusia. Secara praxis teologi tradisional gagal menjadi semacam ideology yang sungguh – sungguh fungsional bagi kehidupan nyata masyarakat muslim. Kegagalan para teolog tradisional disebabkan oleh sikap para penyusun teologi yang tidak
14)E.Kusnadiningrat, Teologi dan Pembebasan : Gagasan Islam Kiri Hanafi, Logos, Jakarta, 1999, hlm. 63-64.
15)Ridwan, Op, cit, hlm 45.
16)Ibid, hlm. 46.
17)Ibid, hlm. 47.
mengaitkannya dengan kesadaran murni dan nilai – nilai perbuatan manusia. Akibatnya, muncul perpecahan keimanan teoritik dengan amal praktisnya dikalangan umat. Ia menyatakan, baik secara individual maupun social, umat islam dilanda keterceraiberaian dan terkoyak – koyak. Secara individual, pemikiran manusia terputus dengan kesadaran, perkataan maupun perbuatannya. Keadaan itu akan mudah melahirkan sikap – sikap moral ganda (an-nifaq hypocrisy) atau senkretisme kepribadian (muzawwij assyahyyali). Fenomena sinkretis ini tanpak dalam kehidupan umat islam saat ini :sinkretisme antara kultur keagamaan dan sekularisme (dalam kebudayaan), antara tradisional dan modern (peradapan), Timur dan Barat (politik), antara konversatisme dan progresivisme (social) dan antara kepitalisme dan sosialisme (ekonomi).18
Secara histories, teologi telah menyingkap adanya benturan berbagai kepentingan dan ia syarat dengan konflik social politik. Teologi telah gagal pada dua tingkat: pertama, pada tingkat teoritis, yaitu gagal mendapat pembuktian ilmiah filosofis, dan kedua, pada tingkat praxis, yaitu gagal karena hanya menciptakan apatisme negativisme.19
b.Rekonstruksi teologi
Melihat sisi – sisi kelemahan teologi tradisional, Hanafi lalu mengajukan saran rekonstruksi teoloogi menjdai ilmu-ilmu yang bermanfaat bagi masa kini, yaitu dengan melakukan rekonstruksi dan revisi, serta membangun kembali epistemology baru yang shahih dan lebih signifikan. Tujuan rekonstruksi teologi hanafi adalah menjadikan teologi tidak sekedar dogma-dogma keagmaan yang kosong, melainkan menjelma sebagai ilmu tentang pejuang social, yang menjadikan keimanan-keimanan tradisional memilki fungsi secar actual sebagai landasan etik dan motivasi manusia.20
Sistem kepercayaan sesungguhnya mengekspresikan bangunan social tertentu. Sistem kepercayaan menjadikan gerakan social sebagai gerakan bagi kepentingan mayoritas yang diam (al-aglabiyah as-sinitah the majority) sehingga sistem kepercayaan memiliki fungsi visi. Karena memiliki fungsi revolusi, tujuan final rekonstruksi teologi tradisional adalah revolusi sosial.
18)Ibid, hlm. 47.
19)Ibid, hlm. 48.
20)Ibid, hlm. 49.
Menilai revolusi dengan agama dimasa sekarang sama halnya dengan mengaitkan filsafat dengan syariat di masa lalu, ketika filsafat menjadi tuntutan zaman saat itu.21
Langkah melakukan rekonstruksi teologi sekurang – kurangnya dilatar bekalang oleh tiga hal berikut :
1.Kebutuhan akan adanya ediologi yang jelas ditengah – tengah pertarungan global antara berbagai idiologi.
2.Pentingnya teologi baru ini bukan semata pada sisi teoritisnya, melainkan juga terletak pada kepentingan praktis untuk secara nyata mewujudkan ideologi sebagai gerakan dalam sejarah. Salah satu kepentingan teologi ini adalah memecahkan problem pendudukan tanah dinegara – negara muslim.
3.kepentingan teologi yang bersifat praktis (amaliyah fi’liyah) yaitu secara nyata diwujudkan dalam realitas melalui realisasi tauhid dalam dunia islam. Hanafi menghendaki adanya “teologi dunia” yaitu teologi baru yang dapat mempersatukan umat islam dibawah satu orde.22
Menurut Hanafi, rekonstruksi teologi merupakan salah satu cara yang mesti ditempuh jika mengharapkan agar teologi dapat memberikan sumbangan yang kongkret bagi sejarah kemanusiaan. Kepentingan rekonstruksi itu pertama – tama untuk mentranspormasikan teologi menuju antropologi, menjadikan teologi sebagai wacana tentang kemanusiaan, baik secara eksistensial, kognitif, maupun kesejarahan.
Selanjutnya Hanafi menawarkan dua hal untuk memperoleh kesempurnaan teori ilmu dalam teologi islam yaitu :
1.Analisis bahasa: Bahasa serta istilah – istilah dalam teologi tradisional adalah warisan neneng moyang dibidang teologi, yang merupakan bahasa khas yang seolah – olah menjadi ketentuan sejak dulu. Teologi tradisional memiliki istilah – istilah khas seperti Allah, iman, akhirat. Menurut Hanafi, semua ini sebenarnya menyingkapkan sifat – sifat dan metode keilmuan, ada yang empirik-rasional seperti iman, amal dan imamah, dan ada yang historis seperti nubuwah serta ada pula yang metafisik seperti Allah dan akhirat.

21)Ibid, hlm, 50.
22)Ibid hlm, 51
2.Analisis realitas : analisis ini dilakukan untuk mengetahui latar belakang historis-sosiologis munculnya teologi dimasa lalu, mendeskripsikan pengaruh – pengaruh nyata teologi bagi kehidupan masyarakat, dan bagaimana ia mempunyai kekuatan mengarahkan terhadap perilaku para pendukungnya. Analisis realitas ini berguna untuk menentukan stressing kearah mana teologi kontemporer harus diorientasikan.23


























23)Ibid hlm, 51

DAFTAR PUSTAKA
Faruqi, Isma’il Raji, At – Tauhid, terjemah. Rahmani Astuti, Pustaka, 1982.
Kusnadiningrat, Teologi Pembebasan : Gagasan Islam Kiri Hasan Hanafi, Logos, Jakarta, 1999.

supervisi pendidikan membantu guru dalam manajemen kelas

MEMBANTU GURU
DALAM MANAJEMEN KELAS

Diajukan dalam diskusi kelas dalam mata kuliah
Supervisi Pendidikan yang dibina oleh :
Bapak Prof. Dr. Ibrahim Bafadal, M.Pd dan
Dr. Hj. Titiek Rohanah Hidayati, M.Pd













Oleh :

MUHASIB
NIM : 084 099 007




PROGRAM PASCA SARJANA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) JEMBER
OKTOBER 2009


A.PENGANTAR
Setelah ditelaah pada chapter VI yaitu ada kaitannya dengan keaktifan guru mengajar dengan siswa belajar yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik yang datang dari dalam diri, maupun yang datang dari luar diri. Faktor yang datang dari dalam diri sendiri ada yang berkaitan dengan kecakapan, ada yang bukan kecakapan, seperti minat dan dorongan belajar. Minat dan dorongan untuk belajar dapat ditimbulkan melalui upaya dan situasi yang diciptakan oleh guru. Upaya membantu guru dalam manajemen kelas yang diciptakan oleh guru disamping dapat mempengaruhi minat dan dorongan belajar, juga mempengaruhi keaktifan belajar.
B.PEMBAHASAN
Meningkatkan keaktifan siswa belajar melalui upaya membantu guru dalam manajemen kelas yang diciptakan guru dapat dilakukan melalui :
a.Penataan Ruang Kelas
Menciptakan pembelajaran aktif meliputi beberapa faktor yang saling berkaitan antara lain dengan penciptaan lingkungan belajar, yaitu suasana kelas, baik pengelolaan maupun penataan kelas, sehingga merangsang aktivitas belajar. Rangsangan aktivitas belajar yang diberikan guru dalam proses pembelajaran merupakan upaya menuntun arah belajar siswa aktifyang menuju sasaran yang hendak dicapai, yaitu tujuan. Pengarahan ini erat kaitannya dengan manajemen kelas, yaitu memadukan semua upaya sehingga terjadi keserasian dalam seluruh kegiatan dan mempermudah pencapaian tujuan.
Lemlech (1979:5) mempersamakan manajemen kelas dengan upaya seorang dirigen dalam mengelola suatu pertunjukan orkestra. Manajemen kelas diartikan sebagai suatu mengorkrestasi suatu kegiatan dikelas. Upaya yang dilakukan meliputi perencanaan kurikulum (rencana belajar), mengorganisasi prosedur dan sumber belajar, menata lingkungan untuk memaksimumkan keefesienan kegiatan belajar, memonitor kemajuan belajar siswa, dan meramalkan kesulitan yang mungkin dihadapi dalam belajar.
Selain manajemen kelas perlu pula penataan ruangan kelas yang mempunyai kaitan dengan kepentingan memperlancar interaksi dan komonikasi yang aktif antara guru dengan siswa. Penataan ruangan kelas sepatutnya disesuaikan dengan metode pembelajaran yang dilaksanakan, apakah secara perorangan, keloimpok atau klasikal. Penataan ruangan kelas pada umumnya disesuaikan dengan kepentingan pembelajaran klasikal melalui proses penyampaina materi pembelajaran dengan cara imposisi. Dengan demikian kemudahan komonikasi hanya berlaku pada komonikaasi satu arah atau dua arah.
b.Penerapan Prinsip Belajar Sambil Berbuat
Berbuat berarti juga mengalami. Siswa melakukan proses belajar yang sebenarnya jika dia mengalami sendiri melakukan apa yang dipelajari, tidak hanya mendengar atau melihat. Dengan mengalami, proses memperoleh hasil belajar yang bersifat kompleks dan dapat mudah dicapai. Prinsip belajar sambil berbuat atau belajar sambil mengalami bukan semata – mata berkaitan dengan bentuk belajar ketrampilan, tetapi juga berkaitan dengan bentuk belajar yang lain, yaitu belajar verbal, belajar konsep dan belajar pemecahan masalah, meskipun bentuk perbuatannya disesuaikan dengan bentuk belajar yang dilakukan.
Bukan hanya siswa, gurupun ketika mengajar hendaknya sambil berbuat dan memberikan keteladanan. Mengajar dengan perbuatan yang dilakukan tubuh lebih mengena dari perkataan. Ada ungkapan perbuatan berbicara lebih tepat dari pada perkataan, belajar berjalan dengan berjalan, belajar berenang dengan beenang, belajar memanah dengan memanah. Artinya belajar lebih baik dari pada dipraktekan dalam bentuk perbuatan kata – kata.
Beberapa perilaku guru ketika mengajar yang perlu diperhatikan agar menjadi teladan bagi siswa antara lain :
1.Tidak membersihkan hidung, telinga, mulut atau kuku didepan umum (siswa).
2.Tidak menguap, batuk, atau bersin dimuka orang lain, tetapi hendaknya memalingkan muka terlebih dahulu, atau menutup hidung dan mulut dengan tangan atau sapu tangan.
3.Tidak menggeliakkan tubuh seenaknya didepan siswa.
c.Kedisiplinan Guru
Kedisiplinan merupakan salah satu upaya dan perbuatan untuk meningkatkan kinerja guru, karma dengan disiplin kegiatan akan teratur dan terarah sehingga tujuan kerja yang diharapkan dapat dicapai dengan baik (Rusyan, 2008: 33). Dengan demikian dengan kedisiplinan seorang guru memiliki tuntutan yang sangat penting untuk dimiliki dalam upaya menunjang dan meningkatkan kinerja mengajar guru dikelas. Adapun kedisiplinan kinerja guru meliputi nilai dan sikap yang diterapkan dalam kehidupan sehari – hari di antaranya lain :
a)Menerima dan melaksanakan pancasila dan UUD 1945
b)Menerima dan melaksanakan ajaran agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang dinutnya, serta menghormati ajaran agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang dianut orang lain.
c)Mencintai sesame manusia dan mencintai lingkungannya.
d)Memiliki sifat demokratis dan tenggang rasa serta bertanggung jawab.
e)Dapat menghargai kebudayaan dan tradisi nasional termasuk bahasa Indonesia
f)Percaya pada diri sendiri dan bersikap makarya
d.Model – Model Disiplin
Imron (1995) menyatakan bahwa disiplin kinerja mengajar guru adalah suatu keadaan tertib dan teratur yang dimiliki guru dalam bekerja disekolah, tanpa ada pelanggaran – pelanggaran yang merugikan baik langsung maupun tidak langsung terhadap dirinya, teman sejawatnya dan terhadap sekolah secara keseluruhan. Oleh karenanya, terdapat tiga model yang harus dikembangkan diantaranya :
1)Disiplin yang dibangun berdasarkan konsep otoritarian yaitu mentaati segala peraturan yang diberikan sekolah tanpa menyumbangkan banyak pikiran.
2)Disiplin yang dibangun berdasarkan konsep permissive yaitu segala peraturan didalam kelas dan sekolah yang dilonggarkan dan tidak perlu mengikat pada guru.
3)Disiplin yang dibangun berdasarkan kebebasan yang terkendali yaitu memberikan kebebasan kepada guru untuk berbuat dan dapat dipertanggung jawabkan.
Penerapan model disiplin diatas, diikuti dengan teknik – teknik alternatif pembinaan disiplin guru yaitu :
a)Pembinaan dengan teknik external control yaitu pembinaan yang dikendalikan dari luar.
b)Pembinaan dengan internal control yaitu guru disadarkan akan pentingnya disiplin yang timbul dari dalam dirinya sendiri.
c)Pembinaan dengan teknik cooperatitive control yaitu adanya kerja sama antara guru dengan orang yang membina dalam menegakkan disiplin.
e.Guru Sebagai Model dan Teladan
Guru merupakan model atau teladan bagi peserta didik dan semua orang yang menganggap dia sebagai guru kecendrungan yang besar untuk menganggap bahwa peran ini tidak mudah untuk ditentang, apalagi ditolak.
Sebagai teladan, tentu saja pribadi dan apa yang dilakukan guru akan mendapat sorotan peserta didik serta orang disekitar lingkungannya yang menganggap atau mengakui sebagai guru.
Sehubungan itu, beberapa hal dibawah ini perlu mendapat perhatian para guru.
1)Sikap dasar
2)Bicara dan gaya bicara
3)Kebiasaan bekerja
4)Sikap melalui pengalaman dan kesalahan
5)Pakaian
6)Hubungan kemanusiaan
7)Proses berfikir
8)Perilaku neorotis
9)Selera
10)Keputusan
11)Kesehatan
12)Gaya hidup secara umum
f.Peran Guru Dalam Mendisiplinan Peserta Didik
Tugas guru dalam pembelajaran tidak terbatas pada penyampaian materi pembelajaran, tetapi lebih dari itu guru harus membentuk kompetensi dan pribadi peserta didik. Oleh karena itu, guru harus senantiasa mengawasi perilaku peserta didik, terutama pada jam – jam sekolah, agar tidak terjadi penyimpangan perilaku atau tindakan yang indisiplin. Untuk kepentingan tersebut dalam rangka mendisiplinkan pserta didik, guru harus mampu menjadi pembimbing, contoh atau teladan, pengawas dan perilaku peserta didik.
Sebagai pembimbing, guru harus berupaya untuk membimbing dan mengarahkan perilaku peserta didik kearah yang positif, dan menunjang pembelajaran, sebagai contoh dan teladan, guru harus memperlihatkan perilaku disiplin yang baik kepada peserta didik, karna bagaimana peserta didik akan berdisiplin kalau gurunya tidak menunjukkan sikap disiplin. Sebagai pengawas, guru senantiasa mengawasi seluruh perilaku peserta didik, terutama pada jam – jam efektif sekolah, sehingga kalau terjadi pelanggaran terhadap disiplin, dapat segera diatasi. Sebagai pengendali, guru harus mampu mengendalikan perilaku peserta didik disekolah. Dalam hal ini guru harus mampu secara efektif menggunakan alat pendidikan secara tepat waktu dan tepat sasaran. Baik memberikan hadiah maupun hukuman terhadap peserta didik.




DAFTAR PUSTAKA
Sumiati, Dra, Azra, M.Pd, 2008, Metode Pembelajaran, Bandung, CV. Wacana Prima.

Rusyan, Tabrani, A, 2008, Etos Kerja Dalam Meningkatkan Produktivitas Kinerja Guru, Jakarta Timur, PT. Intermedia Cipta Nusantara.

Mulyasa, E, Dr, M.Pd, Menjadi Guru Profeional, Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya.

msdm pendidikan, seleksi

TELAAH CHAPTER IV
HUMAN RESOURCES MANAGEMENT IN EDUCATION
By Ronald W. Rebore

SELEKSI
SEBAGAI PROSES MANAJERIAL
DALAM PENCAPAIAN TUJUAN ORGANISASI

Diajukan dalam diskusi kelas dalam mata kuliah
Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) yang dibina oleh :
Bapak Prof. Dr. Babun Suharto, SE, MM, dan
Dr. Suhadi Winoto, M.Pd













Oleh :
Muhasib
Nim: 084 099 007
Puji Astuti
Nim: 084 009 019




PROGRAM PASCA SARJANA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) JEMBER
DESEMBER 2009

A.PENGANTAR
Pada bab terdahulu telah di paparkan tentang rekrutmen dan akan dilanjutkan dengan seleksi sebagaimana yang telah kita ketahui, bahwa untuk pencapaian tujuan organisasi diperlukan adanya guru yang profesional dan kompeten sebagai upaya peningkatan mutu pendidikan, dengan hal ini, maka untuk mengetahui sejauh mana tingkat kompetensi guru, maka diperlukannya penyeleksian agar kita mengetahui bahwa seorang guru betul – betul memiliki kualifikasi akademik dalam melaksanakan tugasnya dan mengemban tanggung jawab terhadap pendidikan.
B.PEMBAHASAN
Pengertian 
Setelah kami telaah pada chapter IV ternyata didalamnya menjelaskan tentang seleksi melamar menjadi guru, sebagaimana yang telah kita ketahui, bahwa seorang guru harus mengajukan surat lamaran terlebih dahulu. Biasanya di instansi – instansi pemerintah maupun swasta mewajibkan adanya surat lamaran tersebut, adapun suratnya ditulis dengan tangan sendiri dan disertai dengan materai yang telah ditentukan. Selain itu, surat lamaran harus di lengkapi dengan berbagai surat keterangan, seperti ijazah asli atau foto copy yang sudah dilegalisasi, surat keterangan kelahiran yang menunjukkan umur pelamar, surat keterangan WNI (bagi warga keturunan asing atau non-pribumi), surat keterangan dokter pemerintah, dan surat kelakuan baik dari kepolisian setempat.

Setelah pendaftaran atau pelamaran guru ditutup, kegiatan berikutnya adalah seleksi atau penyaringan terhadap semua pelamar. Menurut Straus dan Sayles (1980), seleksi merupakan suatu perkiraan mengenai pelamar yang mempunyai kemungkinan besar untuk berhasil dalam pekerjaannya setelah diangkat menjadi guru. Perbuatan perkiraan tersebut berdasarkan informasi mengenai pelamar. Lebih lanjut, menurut pasangan penulis diatas, ada lima macam teknik seleksi pegawai baru, yakni inventaris biografis, wawancara, pemeriksaan badan, teknik tes, dan penilaian oleh pusat penilaian.

Seleksi : proses pencarian karyawan untuk menyeleksi calon tenga kerja yang dianggap memenuhi kriteria yang sesuai dengan karakter pekerjaan yang dilamar. Sasarannya : membuat suatu rekomendasi untuk menolak atau menerima calon tenga kerja berdasarkan suatu dugaan tentang potensi-potensi dari calon tenaga kerja untuk berhasil dalam bekerja. Dalam proses managerial ada suatu aktivitas kerja membuat suatu rekomendasi untuk menolak atau menerima calon tenga kerja berdasarkan suatu dugaan tentang potensi-potensi dari calon tenaga kerja untuk berhasil dalam bekerja. Kegiatan ini dikenal sebagai.
a. penempatan b. seleksi c. rekomendasi tenaga kerja
d. penilaian calon tenaga kerja   e. penyaringan tenaga kerja
Tugasnya : mengevaluasi sebanyak mungkin kandidat untuk menyaring dan memilih seseorang atau beberapa orang yang paling memenuhi syarat kerja. 
Penempatan : menempatkan karyawan pada bidang pekerjaan yang dianggap sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya (pengetahuan, keterampilan dan keahlian). Sasarannya : membuat suatu rekomendasi untuk mendistribusikan kandidat pada pekerjaan berdasarkan suatu potensi-potensi yang dimiliki kandidat untuk berhasil pada pekerjaannya. Tugasnya : mengevaluasi kandidat untuk dicocokkan antara kualifikasi yang dimiliki dengan persyaratan yang sudah ditetapkan. 
 Perbedaan Individual 
Adanya perbedaan individual : pengetahuan, karakter kepribadian dan fisik, motivasi dsb. Perbedaan sering dikaitkan dengan : jenis kelamin, budaya, pendidikan dan keahlian. Aplikasinya : wanita atau pria, kebiasaan, latar belakang pendidikan, berpengalaman atau fresh grade. Perbedaan ini digunakan untuk menyeleksi dan menempatkan tenaga kerja pada temapat yang tepat. 
 Strategi Seleksi
Campbell, Dunnette, Lawler, Weick (1970) memperkenalkan metode pngumpulan dan pengoalahan data secara mekanikal dan klinikal. Mekanikal ; data dikumpulkan berdasarkan pedoman, prosedur yang sudah ditetapkan. Biasanya dilaksanakan sesuai dengan perhitungan statistik. Misalnya penentuan alat ukur/alat tes yang telah distandarisasikan. Klinikal ; data dikumpulkan dengan cara yang lentur, tergantung pada orang yang mengumpulkan data. Biasanya dengan memperhatikan pola perilaku khusus yang disesuaikan tuntuttan pekerjaan. Misalnya seorang assesor bisa saja mempunyai penilaian yang berbeda dengan assesor lainnya terhadap seorang kandidiat, atau orang yang dievaluasi. 
Uraian dari strategi mekanikal dan klinikal
Interpretasi profil : data dikumpulkan secara mekanikal dan diolah secara klinikal. Hanya dengan menafsirkan profil dari skor-skor alat tes. Misalnya hasil tes kepribadian menunjukkan kebutuhan berprestasi yang tinggi maka ditafsirkan sebagai karyawan yang mempunyai keinginan yang kuat untuk mencapai suatu pretasi kerja. 
Statistikal murni : data dikumpulkan dan diolah secara mekanikal. Skor dari berbagai hasil tes digambarkan dalam suatu persamaan regresi ganda, untuk meramalkan prestasi kerja.  
Klinikal murni : pengumpulan dan pengolahan data dilakukan secara klinikal. Didasarkan pada permalan yang didapatkan melalui wawancara dan observasi perilaku.  
Pemeringkatan perilaku : pengumpulan secara klinikal dan diolah secara mekanikal. Data didapatkan melalui obeservasi dan wawancara kemudian dibuat rating nilainya berdasarkan kualifikasi yang didapatkan melalui wawancara atau observasi. 
Gabungan klinikal : pengumpulan data dilakukan secara mekanikal dan klinikal dan diolah secara klinikal. Merupakan strategi yang sering digunakan. Hasil wawancara, observasi dan skor-skor tes dipadukan secara klinikal untuk meramalkan perilaku. 
Gabungan Mekanikal : data dikumpulkan secar mekanikal dan klinikal data diolah secara mekanikal. Berusaha untuk mendapatkan persamaan regresi antara data mekanikal dan data klinikal. 
Peranan tes psikologi dan wawancara dalam proses seleksi
Di Indonesia proses penerimaan tenaga kerja berlangsung dalam dua tahapan ; 
Tahap pencarian calon tenaga kerja
Mengusahakan agar jumlah kandidat terkumpul cukup banyak sehingga proses seleksi dapat dilakukan dengan baik. Dengan cara : iklan di media cetak/elektronik, pendekatan langsung, melalui rekomendasi, pencari kerja melamar sendiri ke perusahaan-perusahaan. 
Tahap seleksi tenaga kerja
1.seleksi lamaran : mempertimbangkan suatu lamaran untuk bisa mengikuti tahap seleksi berikutnya atau tidak. Biasanya dengan melihat syarat tertentu ; pendidikan, pengalaman, karakterfisik, atau cukup banyak juga dengan di dasarkan IPK
2.wawancara awal : berisi mengenai kesediaan kandidat ketika dihadapkan pad kondisi kerjanya, dan evaluasi persayaratan kerja yang ada pada kandidat.
3.ujian, psikotes tertulis dan psikotes wawancara : kandidat menjalani tes tentang pengetahuan dan keterampilan, mengikuti tes yang menggali aspek psikologis kandidat baik secara tertulis atau secara lisan.
4.penilaian akhir : melakukan evaluasi terhadap hasil serangkaian tes dan wawancara untuk menentukan apakah kandidat diterima atau ditolak. Yang juga ditindak lanjuti dengan memperhatikan hasil tes kesehatan.
5.Pemberitahuan dan wawancara akhir : kandidat yang diterima dipanggil untuk mengikuti wawancara akhir untuk diterangkan mengenai berbagai kebijakan perusahaan, seperti misalnya masalah gaji.
6.penerimaan : kandidat menerima surat keputusan tentang diterimanya kandidat untuk menjadi bagian dari perusahaan. 
Model keabsahan metode seleksi
Tradisional terdiri dari beberapa langkah yaitu pertama analisis pekerjaan yang meliputi data-data tentang sasaran pekerjaan, tugas-tugas yang harus dijalankan, cara-cara yang digunakan dalam bekerja, bahan-bahan dan alat yang digunakan dalam bekerja.Yang kedua adalah penentuan alat prediksi beserta alat ukurnya ; meliputi tindak lanjut atas data-data analisis pekerjaan dengan menentukan ciri-ciri yang diperlukan agar karyawan berhasil dalam bekerja (prediktor) dan menentukan alat ukur yang akurat untuk menggali aspek kemampuan yang dimiliki karyawan (kriterion). Ketiga menentukan kriteria keberhasilan dan alat ukurnya yang meliputi mentapkan seperangkat kriteria yang menandakan bahwa karyawan tersebut berhasil menjalani pekerjaannya yang dilihat dari segi perilaku yang diharapkan dan juga hasil kerjanya. Keempat keabsahan peramalan yang meliputi tentang keakuratan dari prediktor yang ditentukan dengan melihat arah hubungan antara prediktor dengan kriterionnya. Kelima adalah keabsahan silang yang meliputi meyakinkan keakuratan prediksi dari alat ukur. Keenam adalah rekomendasi untuk seleksi yang meliputi penentuan skor minimum atau kombinasi skor minimum untuk dijadikan sebagai pedoman untuk menyeleksi. 
Di Indonesia, khusus dalam pengadaan pegawai negeri, seleksi atau penyaringan terhadap semua pelamar dilakukan melalui dua tahap, yaitu penyaringan administratif dan penyaringan melalui ujian tes (Tim Dosen Administrasi Pendidikan IKIP Malang, 1988). Penyaringan administratif berupa pemeriksaan terhadap kelengkapan serta kebenaran surat lamaran dan lampiran – lampirannya. Misalnya, kebenaran ijazah yang dilampirkan bersama surat lamaran, atau surat keterangan lahirnya. Apabila lampiran – lampiran pada surat tidak lengkap atau ada yang tidak benar, pelamarnya dinyatakan tidak memenuhi syarat dan tidak lulus dalam seleksi administratif. Sedangkan surat lamaran yang benar dan dilengkapi dengan lampiran – lampiran yang benar dan lengkap, pelamarnya dianggap lulus dalam seleksi administratif dan berhak mengikuti seleksi berikutnya yang berbentuk ujian atau tes.

Ujian seleksi guru bisa berbentuk ujian tertulis dan ujian lisan. Menurut Nainggolan (1986), bahan ujian biasanya mencakup pengetahuan umum, kemampuan teknis, dan kemampuan lain yang dipandang perlu.
1.Pengetahuan umum meliputi bahasa indonesia, ideologi negara, Garis – Garis Besar Haluan Negara, dan kebijakan pemerintah.
2.Kemampuan teknis adalah semua pengetahuan dan ketrampilan dalam bidang tertentu yang nantinya akan menjadi tugas calon guru sekolah dasar setelah diterima sebagai pegawai.

Sistem seleksi yang baik harus mampu mengukur tentang tingkat motivasi, komitmen dan kepribadian pelamar. Lebih – lebih pelamar untuk menjadi guru sekolah dasar. Seorang guru sekolah dasar harus memiliki kecintaan terhadap anak, mempunyai dedikasi yang tinggi dalam menunaikan tugasnya, muda dan gesit dalam bertindak, menunjukkan kehangatan dalam berkomonikasi, memiliki kesabaran yang memadai dalam memberikan layanan kepada anak, dan memiliki rasa humor.

Melalui ujian tersebut dalam diketahui pelamar yang tidak memiliki kemampuan, motivasi, komitmen, dan kepribadian yang dipersyaratkan. Pelamar yang tidak memenuhi persyaratan dianggap tidak lulus dan tidak diterima. Sedangkan pelamar yang memenuhi persyaratan berarti lulus dalam seleksi, sehingga bisa diterima dan diangkat sebagai guru.

Sedangkan proses seleksi akhir – akhir ini banyak sekali pakar administrasi pendidikan yang mengemukakan berbagai teorinya tentang bagaimana sebaiknya selsksi pegawai baru itu dilakukan. Umumnya, para pakar tersebut mengemukakan dua hal penting. Pertama, sistem seleksi merupakan aktivitas yang sangat penting. Keefektifan sebuah seleksi pegawai baru adalah diperolehnya calon pegawai yang betul – betul professional sesuai dengan kebutuhan lembaga. Kedua, seleksi pegawai baru merupakan proses yang sangat kompleks. Seorang pakar administrasi pendidikan yang dimaksud Richard, A. Gorton dalam sebuah bukunya Scool Administration : Challenge and Opportunity for Leadership (1976), yang mengemukakan bahwa seleksi pegawai baru dapat dikonseptualisasikan” ..as a process consisting of series of sequentially interdependent steps”.

Bilamana merujuk kepada teori tersebut, proses seleksi calon guru disekolah dasar adalah mendefinisikan karakteristik guru baru yang diinginkan sekolah. Benyak sekolah menyelesaikan sekolah ini dengan secara sederhana, yaitu mengidentifikasi jenjang pendidikan (grade level) atau jurusan guru yang dibutuhkan, Diploma II PGSD, atau Sarjana Strata I Jurusan Pendidikan Matematika, misalnya. Mereka memiliki kriteria lain. Namun, yang pasti pada langkah pertama ini adalah kepala sekolah membuat identifikasi dan definisi jenis dan karakteristik dan kualifikasi guru baru yang diharapkan sekolah. Penetapan tersebut dilakukan pada permulaan seleksi.

Dalam kerangka peningkatan mutu berbasis sekolah pengedentifikasian dan pendefinisian kriteria seleksi dilakukan kepala sekolah dengan membentuk tim khusus seleksi, yakni para stakeholders, seperti kepala sekolah sendiri, seorang guru senior, komite dewan sekolah atau pengurus BP3, dan pengurus yayasan. Tim seleksi ini tentu terbuka, dimana konselor, siswa, dan orang tua harus memberikan kontribusi bermakna dalam mendefinisikan kriteria seleksi, wawancara calon, dan membuat rekomendasi seleksi. Namun, perlu diketahui bahwa pada sekolah dasar swasta tentu yayasanlah yang memiliki kewenangan dalam membuat keputusan akhir mengenai seleksi staf tersebut. Walaupun demikian, tim seleksi barangkali dapat melakukan penentuan terakhir untuk direkomendasikan kepada yayasan.

Dalam mendefinisikan kriteria seleksi guru, kepala sekolah dasar dan tim seleksi harus mempertimbangkannya, setelah kriteria calon guru diidentifikasi dan disefinisikan, langkah berikutnya adalah mengumpulkan dan menilai application form dan placement paper. Jadi, setelah kriteria didefinisikan, kemudian tim seleksi guru perlu mengidentifikasi dan menggunakan prosedur – prosedur dalam mengumpulkan dan menguji data calon which pertain to kriteria. Ada dua prosedur yang seringkali digunakan sekolah, yaitu menilai applicants’ placement papers, dan wawancara (personal interview) dengan calon. Walaupun keduanya mempunyai keunggulan tertentu, masing – masing juga memiliki kelemahan – kelemahan tertentu yang menuntut kepala sekolah atau penitia untuk menyadarinya. Pengujian placement papers memiliki tujuan sebagai screening of applicants sehingga dapat ditetapkan calon mana yang harus diundang untuk wawancara. Candidate’s placement papers dapat mencakup informasi penting, tergantung bagaimana format – formatnya dirancang. Terpenting lagi adanya kesamaan visi dan persepsi para penguji dalam menilai placement papers.
Setelah application form dan placement papers di nilai oleh tim seleksi guru, keputusan harus dibuat untuk mengundang calon yang tampak memenuhi kriteria seleksi untuk mengikuti wawancara. Tim dapat mewawancarai masing – masing calon, kepala sekolah dapat menentukan untuk melaksanakan unilaterally, atau metode wawancara lainnya. Tanpa memandang siapa yang melaksanakan wawancara, menurut Gorton (1976),” careful planning is a key to ist succes”. Sehubungan dengan itu, perencanaan wawancara seleksi personel harus saksama dan mencakup pertimbangan pada pertanyaan – pertanyaan yang diidentifikasikan sebelumnya.

Setelah wawancaranya selesai dirancang, langkah berikutnya adalah mengundang dan mewawancarai calon yang sangat menjanjikan atau lulus dalam penilaian application form dan placement papers. Begitu semua calon tersebut diwawancarai, tim seleksi pegawai harus segera mengambil keputusan calon mana yang tidak lulus dan calon mana yang lulus sehingga dapat segera dilakukan pengangkatan sebagai pegawai, baik sebagai pegawai sementara maupun langsung sebagai pegawai tetap, tergantung kepada peraturan kepegawaian disekolah yang bersangkutan.

C.KESIMPULAN
Dari beberapa uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa untuk meningkatkan kualifikasi akademik dan sumber daya manusia yang berkualitas perlu peningkatan profesionalisme guru dan untuk mengetahuinya yaitu dengan melihat hasil ktriteria seleksi guru yang sudah disetujui oleh masing – masing tim seleksi sesuai dengan kompetensi dan bidangnya masing – masing. Apakah seorang guru itu layak untuk diluluskan atau sebaliknya.








DAFTAR PUSTAKA
Bafadal, Ibrahim, Dr. M.Pd, 2006, Peningkatan Profesionalisme Guru Sekolah Dasar, Jakarta : PT. Bumi Aksara.
Rebore, Ronald W, 2004, Human Resource Management In Education. New York.

tafsir sufi, studi al-qur"an

1. PENDAHULUAN
Perkembangan sufisme yang kian marak di dunia Islam ditandai oleh praktik-praktik asketisme dan askapisme yang dilakukan oleh generasi awal Islam. Hal ini dimulai sejak munculnya konflik politis sepeninggal nabi Muhammad SAW. Praktik seperti terus berkembang pada masa berikutnya.
Seiring berkembangnya aliran sufi. Merekapun menafsirkan alqur’an sesuai dengan faham sufi yang mereka anut. Pada umumnya kaum sufi memahami ayat-ayat alqur’an bukan sekedar dari lahir yang tersurat saja. Namun mereka memahaminya secara bathin atau yang tersirat.

II. PEMBAHASAN
A.Pengertian Tafsir Shufi
Tafsir sufi adalah tafsir yang ditulis oleh para sufi.1 Sesuai dengan pembagian dalam dunia tasawwuf tafsir ini juga dibagi menjadi dua yaitu tafsir yang sejalan dengan tashawwuf an Nazhari disebut Tafsir al Shufi al Nazhri, dan yang sejalan dengan tashawwuf amali disebut tafsir al faidhi atau tafsur al isyari.
B. Sejarah lahirnya Tafsir Shufi
Para sufi umumnya berpedoman kepada hadits Rasulullah SAW yang berbunyi:
لِكُلِّ ايَةٍ ظَهْرٌ وَبَطْنٌ وَلِكُلِّ حَرْفٍ حَدٌّ وَلِكُلِّ حَدٍّ مَطْلَعٌ
“Setiap ayat memiliki makna lahir dan batin. Setiap huruf memiliki batasan-batasan tertentu. Dan setiap batasan memiliki tempat untuk melihatnya.”
Hadits di atas, adalah merupakan dalil yang digunakan para sufi untukmenjustifikasi tafsir mereka yang eksentrik. Menurut mereka di balik makna zahir, dalam redaksi teks Al-Qur’an tersimpan makna batin. Mereka menganggap penting makna batin ini. Nashiruddin Khasru misalnya, mengibaratkan makna zahir seperti badan, sedang makna batin seperti ruh; badan tanpa ruh adalah substansi yang mati.2 Tidak heran bila para sufi berupaya mengungkap makna-makna batin dalam teks Al-Qur’an. Mereka mengklaim bahwa penafsiran seperti itu bukanlah unsur asing (Gharib), melainkan sesuatu yang inheren dengan Al-Qur’an. Tafsir sufi menjadi eksentrik karena hanya bisa ditolak atau diterima, tanpa bisa dipertanyakan. Tafsir tersebut tidak bisa menjawab dua pertanyaan; mengapa dan bagaimana? Misalnya, ketika al-Ghazali menafsirkan potongan ayat (QS:20;12) ( فَاخْلَعْ نَعْلَيْلَكَ ) yang secara zahir “tinggalkanlah (Wahai Musa) kedua sandalmu”. Menurut al-Ghazali makna batin dari ayat ini adalah “Tanggalkan (Hai Musa) kedua alammu, baik alam dunia mupun akhirat. Yakni, janganlah engkau memikirkan keuntungan duniawi dan jangan pula mencari pahala ukhrawi, tai carilah wajah Allah semata”.3 Kita boleh setuju atau tidak dengan penafsiran seperti ini. Tapi kita tidak akan memperoleh penjelasan yang memadai tentang mengapa penafsirannya seperti ini? Dan bagaimana al-Ghazali bisa sampai pada penafsiran yang seperti ini? Kita hanya bisa menerima atau menolaknya, tanpa bisa mempertanyakan penalaran di balik penafsiran tersebut.
Tidak ada penalaran yang jelas yang menghubungkan antara nash Al-Qur’an dengan tafsir batin yang dikemukakan oleh para sufi kecuali para sufi iut melihat nash Al-Qur’an sebagai isyarat bagi makna batin tertentu. Karena itu, tafsir sufi juga sering disebut dengan tafsir isyari4, yang pengertiannya menurut versi Al-Zarqani adalah “menafsirkan Al-Qur’an tidak dengan makna zahir, melainkan dengan makna batin, karena ada isyarat yang tersembunyi yang terlihat oeh para sufi. Namun demikian tafsir batin tersebut masih dapat dikompromikan dengan makna zahirnya.
Jadi, isyarat-isyarat Al-Qur’anlah yang direnungkan oleh para sufi, sehingga mereka sampai pada makna batin Al-Qur’an. Dan di sinilah letak masalahnya, karena isyarat sangat rentan untuk disalah tafsirkan atau disalahgunakan. Misalnya, penyalahgunaan yang dilakukan oleh kaum Bathiniyah.5 Dengan dalih bahwa di balik makna zahir Al-Qur’an tersimpan makna batin, mereka mengembangkan tafsir batin yang disesuaikan dengan ajaran-ajaran mereka sendiri. Misalnya saja ketika mereka menafsirkan surat al-Hijr ayat 99 (QS.15:99)( وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَى يَاْتِيَكَ الْيَقِيْنُ ). Menurut pendapat jumhur, ayat itu berarti “sembahlah Tuhanmu sampai ajal tiba”. Namun kaum Bathiniyah mengembangkan penafsiran sendiri. Menurut mereka makna ayat itu adalah “barangsiapa telah mengerti makna ibadah, maka gugurlah kewajiban bagnya”.6
Jelas bias kesektariannya sangatlah kental dalam tafsir kaum bathiniyah. Dan para sufi mencela penafsiran seperti itu. Walaupun mereka juga menggali tafsir batin Al-Qur’an, namun para sufi merasa bahwa tafsir mereka tidaklah sama dengan tafsir kaum Bathiniyah; Pertama karena penafsiran mereka diperoleh mengalau kasyaf.7 Kedua, karena mereka tidak mengabaikan makna zahir Al-Qur’an sebagaimana yang dilakukan kaum Bathiniyah. Namun demikian, apakah betul karena itu, yakni karena berbeda dengan kaum Bathiniyah, sehingga tafsir sufi steril dari bias sectarian? Masalah ini perlu dielaborasi lebih lanjut.
C. Sekilas tentang Sufisme
Untuk dapat mengetahui serta mengelaborasi corak serta bias sectarian dalam tafsir sufi. Perlu kiranya dipaparkan terlebih dahulu penjelasan singkat tentang sufisme. Karena, tafsir sufi pada dasarnya adalah tafsir yang dikemukakan oleh para sufi, dan para sufi menjadi sufi karena sufisme. Sufisme atau tasawuf8 adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari cara dan jalan tentang bagaimana seorang muslim dapat berada sedekat mungkin dengan Tuhannya. Intisari dari Sufisme adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Allah SWT dengan mengasingkan diri dan berkontempelasi. Sufisme mempunyai tujuan memperoleh hubungan dengan Tuhan, sehingga seseorang sadar betul baha ia berada di hadirat Tuhan.
Ada banyak variasi cara dan jalan yang diperkenalkan para ahli sufisme untuk memperoleh tujuan tersebut. Mereka menyebutnya dengan istilah maqamat, yaitu stasiun-stasiun yang harus dijalani para sufi untuk sampai ke tujuan mereka. Dari sekian banyak versi maqamat, yang biasa disebut ialah: tobat-zuhud-sabar-tawakkal-ridha. Kelima stasiun itu harus ditempuh secara bertahap. Untuk berpindah dari satu stasiun ke stasiun berikutnya diperlukan waktu dan usaha yang tidak sedikit. Terkadang seorang sufi harus menyelami satu stasiun selama bertahan-tahun sebelum akhirnya ia merasa mantap dan dapat berpindah ke stasiun berikutnya.
Mengenai bentuk hubungan dengan Allah SWT, yang menjadi tujuan para sufi, ada dua buah pendapat utama; monoisme dan dualisme. Para penganut aliran monoisme berpendapat baha tahap puncak hubungan seorang sufi dengan Tuhan bersifat manunggal/ monolitik, hubungan ini dapat mengambil bentuk hulul, ittihad atau wihdat al-wujud.9 Para penganut aliran dualisme berpendapat bahwa hubungan seorang sufi dengan Tuhan bersifat dulistik. Seorang sufi bisa jadi akan sangat dekat dengan Tuhan, sehingga tidak ada lagi dinding pemisah antara dia dengan Tuhan, namun dia tetaplah dia dan Tuhan tetaplah Tuhan. Bagi aliran dualisme, puncak hubungan seorang sufi dengan Tuhannya adalah al-Qurb (kedekatan).
Untuk menguraikan jalan dan tujuan sufisme ini, para ahli tasawwuf menempuh dua jalan yang berbeda. Ada yang menggunakan Al-Qur’an dan al-Hadits, dan ada pula yang menggunakan filsafat. Penganut aliran dualisme umumnya menggunakan yang pertama, karena itu aliran ini biasanya disebut tasawwuf sunni. Sedangkan penganut aliran monoisme umumnya menggunakan yang kedua, karena itu aliran ini biasanya disebut tasawwuf filosofi.10
Mahmud Basuni Faudah, menyebut kedua macam aliran tasawwuf tersebut dengan isitilah tasawwuf teoritis dan tasawwuf praktis. Tasawwuf teoritis adalah tasawwuf yang didasarkan pada pengamatan, pembahasan dan pengkajian, dan karena itu mereka menggunakan filsafat sebagai saranya. Sedangkan tasawwuf praktis adalah tasawwuf yang didasarkan pada kezuhudan dan asktisme, yakni banyak berzikir dan latihan-latihan keruhanian. Menurut Faudah, para penganut kedua aliran ini mendekati Al-Qur’an dengan cara yang berbeda. Karena itu, produk penafsirannya pun relative berbeda. Ia membedakan keduanya dengan istilah tafsir sufi nazhari dan tafsir dan tafsir sufi isyari. Tafsir sufi Nazhari adalah produk sufi teoritis seperti Ibn ‘Arabi. Sedangkan tafsir sufi Isyari adalah produk sufi praktis seperti Imam al-Naysaburi, al-Tustari, dan Abu Abdurrahman al-Sulami.11
Sangatlah menarik untuk membandingkan lebih jauh tentang sufi Nazhari dengan tafsir sufi Isyari ini. Hal ini, mengingat masing-masing memiliki karakter tersendiri. Tafsir sufi Nazhari adalah produk sufi nota bene membangun ajaran sufisme di atas landasan filsafat. Karena itu, sangatlah mungkin ada bias filsafat di dalam tafsir aliran tersebut. Sedangkan tafsir sufi isyari adalah produk para sufi menganut teologi Asy’ariyah,12 sehingga besar kemungkinan ada bias Asy’ariyah di dalam tafsir tersebut. Dan sebagaimana yang akan ditunjukkan oleh makalah ini, asumsi-asumsi tersebut terbukti benar.

D. Bias Filsafat Dalam Tafsir Sufi Nazrani
Upaya untuk menemukn bias filsafat dalam tafsir sufi Nazhari, telah dilakukan oleh Mahmud Basuni Faudah. Ia berhasil menunjukkan beberapa penafsiran Ibn ‘arabi yang menjadi bukti bahwa tafsir batin yang dikemukakannya mengandung bias filsafat. Ibn ‘arabi sendiri adalah seorang sufi yang sangat terpengaruh oleh pandangan wihdah al-wujud dan filsafat emanasi.
Bias filsafat terlihat ketika Ibn ‘Arabi menafsirkan surat Maryam ayat 57 (QS.19:57) ( وَرَفَعْنَاهُ مَكَانًا عَلِيًا ) yang secara zahir berarti: “Dan Kami angkat martabatnya (Idris a.s.) ke tempat yang tinggi”. Menurut Ibnu ‘Arabi, tempat yang tinggi adalah tempat beredarnya ruh, alam, dan falak-falak (benda-benda langit) yaitu falak matahari. Disitulah kedudukan ruhani nabi Idris a.s. Di baahnya terdapat tujuh falak dan di atasnya juga tujuh falak. Tujuh falak yang ada di atas falak Idris as. Adalah tempatnya umat Muhammad saw. Penafsiran seperti ini jelas dipengaruhi oleh filsafat emanasi yang mengajarkan bahwa alam ini terjadi dari pancaran akal pertama yang kemudian membentuk falak-falak yang bertingkat-tingkat.13
Bias faham wihdah al-wujud terlihat ketika Ibn ‘arabi menafsirkan surat al-Nisa ayat 1 (QS.4:1) (يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ ) . Secara sahir, ayat tersebut berarti “Wahai sekalian manusia bertaqwalah kalian kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari satu diri (jenis)”. Ibn ‘Arabi menafsirkan ayat ini dengan penafsiran sebagai berikut: “Bertaqwalah kepada Tuhanmu. Jadikanlah bagian yang zhahir dari dirimu sebagai penjaga bagi Tuhanmu. Dan jadikanlah bagian batinmu yang adalah Tuhanmu itu, sebagai penjaga bagi dirimu. Karena perkaranya adalah perkara celaan dan pujian. Maka jadilah kalian pemelihara-Nya dalam celaan, dan jadikanlah Dia pemelihara kalian dalam pujian, niscaya kalian akan menjadi orang-orang yang paling beradan di seluruh alam”. Penafsiran seperti ini jelas dipengaruhi oleh faham wihdah al-wujud yang memandang alam ini sebagai pengejawantahan (ego apresiasi) dari ego potensial yang merupakan Dzat Tuhan yang hakiki.

E. Bias Asyhariyah Dalam Tafsir Sufi Isyari
Di samping pengaruh-pengaruh di atas, dalam kitab-kitab tafsir sufi Isyari, bias sectarian juga nampak terlihat. Tafsir-tafsir tersebut umumnya membela teologi Asy’ariyah. Muhammad Husayn al-Zahabi misalnya, menyebutkan secara gamblang dalam bukunya, al-Tafsir wa al-Mufasirun, bahwa al-Naysaburi ketika menafsirkan Al-Qur’an, banyak menceburkan diri dalam perdebatan teologi sebagai pembela Asy’ariyah. Al-Zahabi mencontohkan penafsiran al-Naysaburi atas surat al-An’am ayat 25 (QS. 6:25) yaitu :
( وَجَعَلْنَا عَلىَ قُلُوبِهِمْ اَكِنَّةً أَنْ يَفْقَهُوْهُ ). Ayat tersebut artinya: “Dan Kami jadikan atas hati mereka penutup untuk memahaminya”. Menurut al-Nasaburi, ayat ini menunjukkan bahwa Allah SWT memalingkan iman dan menengahi antara seorang hamba dengan hatinya. Kaum Mu’tazlah berupaya memalingkan ayat ini dari makaha zaharnya, karena tidak sesuai dengan akidah mereka. Lalu al-Naysaburi memaparkan argumen-argumen yang dikemukakan oleh kaum Mu’tazilah. Setelah itu, ia mematahkan satu persatu, sambil membela kaum Asy’ariyah.14
Contoh lain, dapat dikemukakan dalam tafsir Ruh al-Ma’ani, karya al-alusi. Al-alusi menolak pendapat Mu’tazilah dan mempertahankan Asy’ariyah, ketika ia menafsirkan surat al Kahfi ayat 29 QS. 18:29) : ( فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ ) yang berarti “Barangsiapa yang ingin beriman, beirmanlah dan barangsiapa yang ingin kafir, kafirlah!”. Menurut al-Alusi, ayat ini tidak menunjukkan adanya free will dan free act sebagaimana yang diklaim oleh kaum Mu’tazilah. Hal ini, karena free will dan free act bertentangan dengan dua hal; Pertama, bila untuk berbuat manusia perlu berkehendak, maka untuk membuat kehendak manusia juga perlu berkehendak, begitu seterusnya, sehingga akan terjadi proses teologis yang tidak ada ujung pangkalnya. Kedua, Allah SWT telah berfirman dalam surat al-Insan ayat 30 (QS. 76:30).(وَمَاتَشَاؤُونَ إِلاَّ أنْ يَشَاءَ اللهُ ). Ayat ini jelas menunjukkan bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak Allah. Demikianlah menurut al-Alusi.15













F. Kitab-kitab Tafsir Shufi
1.Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim, karya Imam At-Tutsuri (w.283 H)
2.Haqa’iq At-Tafsir, karya Al-Allamah As-Sulami (w.412 H)
3.Arais Al-Bayan fi Haqa’iq Al-Qur’an, karya Imam As-Syirazi (w.606 H).

III. KESIMPULAN
1.Tafsir shufi adalah tafsir yang ditulis oleh para sufi yang mereka lebih mementingkan bathinnya lafal daripada lahirnya.
2.Dalam tafsir shufi terdapat dua corak tafsir, yaitu; tafsir sufi nazhari dan tafsir sufi isy’ari.
3.Tafsir sufi nazhari adalah tafsir produk sufi teoritis, sedangkan tafsir sufi isyari adalah tafsir produk sufi praktis.
4. Tafsir sufi seharusnya steril dari dimensi sektarianisme, karena ia diklaim bersumber dari Tuhan yang adalah sumber dari segala kebenaran.

















DAFTAR PUSTAKA

Al-Zarqani, Muhammad Abd Al-Azim, Manabil Al-Irfan fi Al-‘Ulum Al-Qur’an, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1986)

Al-Dzahabi, Muhammad Huseyn, al-Tafsir wa Mufassirun, (Kairo:
Mu’assasah at-Tariqh al-‘arabiyah, 1396H/ 1976 M) juz II cet. II h.104

Al-Suyuti, Jalaludin, Al-Itqan fil ‘Ulum Al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1951)

Al-Surbasi, ahmad, Qissah Al-Tafsir, (Beirut: Dar Al-Jayl, 1988)

Al-Taftazani, Abu Al-Wafa Al-Ghanami, sufi dari Zaman ke Zaman
, (Bandung; Penerbit Pustaka, 1997)

Al-Ghazali, Abi Hamid Muhamamd bin Muhammad, Ihya ‘Ulul Al-Din, (Beirut; Dar Ihya Turas Al-‘Arabi)

Faudah, Mahmud Basuni, Tafsir-tafsir Al-quran Perkenalan dengan Metode Tafsir, (Bandung Penerbit Pustaka, 1987)

Iyazi, Muhammad Ali, al-Mufasirun ayatuhum wa Manhajuhum, (Teheran:
Mu’assasah Tiba’iyah Nasyr Wizarah Al-Tsaqafah Al-Islamiyah, 1415 H).

Nasution Harun, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang,
1999)

Sab’I al-Masani, (Beirut: Dar Ihya Turas al-‘Arabi, t.th)

Solihn, M. Tasawuf Tematik Membedah Tema-tema Penting Tasawuf,
(Bandung: pustaka Setia, 2003)

Thabathaba’I, Alammah M.H., Islam Syiah Asal Usul dan Perkembangan,
(Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1993)

MAKALAH

TAFSIR SUFI

Diajukan dalam diskusi kelas dalam mata kuliah
Studi Al – Qur’an yang dibina
oleh : Bapak Dr. H. Aminullah, M.Ag





















Oleh :

MUHASIB
NIM : 084 099 007




PROGRAM PASCA SARJANA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) JEMBER
OKTOBER 2009

makalah dinasti abbasiyah dan perkembangan tasawuf, studi peradapan islam

MAKALAH

DINASTI ABBASIYAH
DAN PERKEMBANGAN TASAWUF


Diajukan dalam diskusi kelas dalam mata kuliah
Studi Peradapan Islam yang dibina oleh :
Bapak Prof. Dr. Miftah Arifin, M.Ag













Oleh :

MUHASIB
NIM : 084 099 007







PROGRAM PASCA SARJANA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) JEMBER
OKTOBER 2009

I.PENDAHULUAN
Khalifah Abbasiyah ialah khalifah islam setelah khalifah Umayyah. Pemerintahan dinasti Abbasiyah dikenal sebagai pemerintahan masa revolusi islam karena keberhasilan dinasti Abbasiyah dalam memajukan peradaban islam. Masa Daulah Bani Abbasiyah disebut-sebut sebagai masa keemasan islam, atau dikenal dengan istilah ” The Golden Age”. Dikarenakan pada masa itu umat islam telah mencapai puncak kejayaan, baik dalam bidang ekonomi, peradaban dan kekuasaan. Dan juga berkembangnya berbagai cabang ilmu pengetahuan, ditambah dengan banyaknya penerjemah buku-buku dari bahasa asing ke bahasa Arab. Dengan mewarisi imperium besar bani Umayyah. Hal ini memungkinkan daulah bani Abbasiyah dapat mencapai hasil lebih banyak, karena landasan telah dipersiapkan oleh daulah bani Umayyah yang besar.
Namun dengan menyokong imperium besar tersebut, justru sebagai penyebab kehancuran dan tranformasi imperium bani Abbasiyah. Bahkan kehancuran bani Abbasiyah terjadi disaat berlangsungnya konsolidasi. Disamping itu kemunduran dinasti Abbasiyah disebabkan hidup mewah para khalifah Abbasiyah dan keluarganya serta para pejabat pemerintahan karena harta kekayaan yang melimpah dari hasil wilayah yang luas, ditambah lagi dengan industri olahan yang melimpah dan tanah yang subur.

II.PEMBAHASAN
A.Kondisi Khalifah-Khalifah dan Imperium Daulat Bani Abbasiyah
Dinasti Abbasiyah adalah suatu dinasti (Bani Abbas) yang menguasai daulat (negara) Islamiah pada masa klasik dan pertengahan Islam. Daulat Islamiah ketika berada di bawah kekuasaan dinasti ini disebut juga dengan Daulat Abbasiyah. Daulat Abbasiyah adalah daulat (negara) yang melanjutkan kekuasaan Daulat Umayyah. Dinamakan Dinasti Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan Abbas (Bani Abbas), paman Nabi Muhammad SAW. Pendiri dinasti ini adalah Abu Abbas as-Saffah, nama lengkapnya yaitu Abdullah as-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas. Khalifah dinasti abbasiyah antara lain sebagai berikut :
Abul Abbas As-Saffh (133-137 H / 750-754 M),Abul Ja’far Al-Manshur (137-1159 H / 754-774 M), Al-Mahdi (159-169 H / 775-785 M), Musa Al-Hadi (169-170 H / 785-786 M), Harun Ar-Rasyid (170-194 H / 785-786 M), Al-Amin (194-198 H / 809-813 M), Al-Ma’mun (198-218 H / 813-833 M), Al-Mu’tasim (218-223 H/ 833-843 M), Al-Watiq (223-228 H / 842-847 M), Al-Mutawakil (841-861 M).
Khalifah bani abbas akhir (861-1262 M), terjadi dari 27 khalifah, antara lain: Muntasi: hanya 6 bulan, Nusta’in, Mutazz: hanya 3 bulan, Al-Muhtadi, Mutammid, Mutazid, Muktafi: 5 tahun, Muktadir: 25 tahun, Abu Mansur, Ar-Razi, Nuttaki, Mustafi, Al-Muti, At-Taii, Al-Kadir, Abu Ja’far: 24 tahun, Abu Kasim, Abdul Ahmad Abbas, Abu Manshur, Rasyid, Abu Abdullah, Abdul Muzaffar Yusuf, Abu Muhammad Hasan, Nasir: memerintah 41 tahun, Zahir: 1 tahun, Abu Ja’far Mansyur, Abu Ahmad Abdullah.1
Dalam kepemimpinan khalifah Abbassiyah yang akhir, dinasti mengalami kemunduran, mayoritas khalifah Abbasiyah akhir adalah orang yang lemah, suka senang-senang dan hanya menjadi boneka Turki, meskipun demikian ada sebagian khalifah Abbasiyah akhir yang bertanggung jawab atas kepimpinannya dan berusaha untuk memajukan Abbasiyah. Namun dia tak mampu berkuasa dengan penuh karena banyak kerajaan yang merdeka serta para gubernur dan pejabat melepaskan diri dari pemerintahan. Yang tersisa hanyalah mentri yang ambisius dan korup. Selama Dinasti Abbasiyah berkuasa. Pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik., sosial, dan budaya.2 Berdasar perubahan pola pemerintahan dan politik tersebut, maka masa pemerintahan bani Abbasiyah dibagi menjadi lima periode.
1.Periode pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M) periode pengaruh Persia pertama.
2.Periode kedua (232 H/847 M – 234 H/945 M) masa pengaruh Turki pertama.
3.Periode ketiga (334 H/945 M – 447 H/1055 M) masa kekuasaan dinasti Buwaih dalam pemerintahan daulat (masa pengaruh Persia kedua).
4.Periode keempat (447 H/1055 M/ – 590 H/1194 M) masa kekuasaan dinasti Saljuk dalam pemerintahan (masa pengaruh Turki kedua).
5.Periode kelima (590 H/1194 M – 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tapi kekuasaannya hanya efektif disekitar kota Baghdad.3
Dari kelima periode masa pemerintahan ini, hanya dalam periode pertama daulat Abbasiyah mencapai masa keemasan (secara politis, para kholifah betul-betul tokoh yang kuat, merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus dan kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tinggi) dan periode selanjutnya adalah periode kelemahan dan kemunduran daulat Abbasiyah. Imperium Abbasiyah mulai mundur pada masa pemerintahan khalifah al-Mutawakil.
1 Wahid, Ahmadi, Sejarah Kebudayaan Islam, Menjelajahi Peradapan Islam, Jakarta, 2008. hlm. 60.
2 Ibid, hlm.61
3 Ibid hlm, 62.
Pada masa ini aliran Mu’tazilah mulai tidak memainkan pemerintahan. Kahancuran dinasti Abbasiyah tidaklah terjadi dengan begitu saja tapi melalui proses yang lama, diawali dengan munculnya berbagai gerakan dan penberontakan. Diantara hal-hal yang menyebabkan kemunduran kerajaan Abbasiyah, antara lain:
a)Melebihkan bangsa asing dari pada bangsa arab.
Sebagai akibat dari kebijakan ini banyak orang Arab melakukan pemberontakan. Disamping itu, wibawa para khalifah telah memudar sejak masa Al-Watshiq dan Al-Mutawakkil. Sampai halifah terakhir. Tidak seorangpun yang mampu menjalankan roda pemerintahan baik setelah itu. Kehadiran mereka hanya seperti bayangan dan boneka saja. Para wazir dengan leluasa mengangkat dan menjatuhkan khalifah.
b)Ketergantungan pada tentara bayaran
Hal ini berakibat buruk bagi daulah Abbasiyah. Karena tentara baru mau menjalankan tugasnya jika mendapatkan bayaran yang besar. Apabila khalifah tidak berani membayar mahal tentara, kedudukannya akan terancam. Terutama dari para gubernur yang membangkang dan mau membayar tinggi tentara. Akhirnya banyak para gubernur yang memiliki tentara bayaran kuat, pada akhirnya menyatakanlepas dari pemerintahan Bagdad, sehingga muncul kerajaan-kerajaan kecil.
c)Fanatisme kebangsaan (persaingan antar bangsa)
Khalifah Abbasiyah didirikan bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang Persi. Persekutuan terjadi karena dilatar belakangi persamaan nasib kedua golongan itu pada masa bani Umayyah berkuasa. Keduanya sama-sama tertindas. Setelah khalifah Abbasiyah berdiri, dinasti Abbasiyah tetap mempertahankan persekutuan itu. Menurut styzewaka ada dua sebab dinasti abbas memilih orang-orang persia dari pada orang-orang arab. Pertama, sulit bagi orang-orang arab untuk melupakan bani Umayyah. Pada masa itu mereka merupkan warga kelas satu. Kedua. Orang-orang arab sendiri terpecah belah dengan adanya Ashabiyyah kesukuan. Dengan demikian, khalifah Abbasiyah tidak ditegakkan diatas ’Ashabiyah traditional. Padahal Islam telah memerangi fanatisme dan menyerukan seluruh umat supaya bersatu. Rasulullah saw sendiri telah menegaskan: ”Bukanlah dari umat kami orang yag menganjur-anjurkan fanatisme kesukuan atau yang yang berperang untuk membela fanatisme kesukuan”.kendati demikian orang arab masih mau kembali juga kepada fanatisne kekabilahan sebagai mana dahulu pada zaman jahiliyah. Orang arab menganggap bahwa darah yang mengalir ditubuh mereka adalah darah (ras) istimewa dan mereka menganggap rendah bangsa non-Arab di dunia Islam.
Selain itu kekuasaan Abbasiyah pada periode pertama sangat luas, meliputi berbagai bangsa yang berbeda. Seperti Maroko, Mesir, Syiria, Irak, Persia, Turki dan India. Mereka disatukan dengan bangsa Semit. Kecuali Islam. Pada waktu itu tidak ada kesadaran yang merajut elemen-elemen yang bermacam-macam tersebut dengan kuat. Akibatnya disamping fanatisme kearaban, muncul juga fanatisme bangsa-bangsa lain yang melahirkan gerakan Syu’ubiyah. Para khalifah menjalankan sistem perbudakan baru, budak-budak bangsa Persia atau Turki dijadikan pegawai dan tentara. Mereka diberi nasab dinasti dan mendapat gaji. Oleh bani Abbas mereka dianggap sebagai hamba. Sistem perbudakan ini telah mempertinggi pengaruh bangsa Persia dan Turki. Karena jumlah dan kekuatan mereka yang besar. Mereka merasa bahwa negara adalah milik mereka. Mereka memiliki kekuasaan atas rakyat berdasarkan kekuaaan khafilah.
Kecendrungan masing-masing bangsa untuk mendominasi kekuasaan sudah dirasakan sejak awal khalifah Abbasiyah berdiri. Akan tetapi karena para khalifah adalah orang-orang kuat yang mampu menjaga keseimbangan kekuatan, stabilitas politik dapat terjaga. Setelah Al-Mutawakkil. Seorang khalifah yang lemah naik tahta, dominasi bangsa turki tak terbendung lagi. Sejak itu kekuasaan bani Abbas sebenarnya sudah berakhir. Kekuasaan berada ditangan orang-orang Turki. Kemudian posisi ini direbut oleh bani Buwaih. bangsa Persi. Pada periode ketiga. Dan selanjutnya beralih kepada dinasti Seljuk pada periode keenpat.
d)Kemerosotan ekonomi
Khalifah Abbasiyah mengalami kemunduran dibidang ekonomi bersamaan dengan kemunduran dibidang politik. Pada periode pertama, pemerintahan bani Abbas mengalami kejayaan dana yang masuk lebih besar dari pada yang keluar, sehingga Bait al-Mal penuh dengan harta, pertambahan dana yang besar diperolah antara lain al-Kharaj, semacam pajak hasil bumi. Setelah  periode pertama khalifah mengalami periode kemunduran, pendapatan negara menurun sementara pengeluaran meningkat lebih besar. Menurunnya pendapatan negara itu disebabkan oleh makin menyempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat, diperingannya pajak dan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dan tidak lagi membayar upeti. Sedangkan pengeluaran membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan para khalifah dan para pejabat melakukan korupsi. Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan perekonomian negara morat-marit. Sebaliknya, kondisi ekonomi yang buruk memperlemah kekuatan politik dinasti Abbasiyah kedua faktor ini saling berkaitan dan tak terpisahkan.
e)Timbulnya kerajaan-kerajaan yang bebas dari kekuasaan bani Abbas
Kelemahan kedudukan khalifah dinasti Abbasiyah di Bagdad, yang disebabkan oleh luasnya wilayah kekuasaan yang kurang terkendali, ketergantungan kepada tentara bayaran. Kesulitan ekonomi dan persoalan politik lainnya, menimbulkan disintegrasi wilayah yang sikuasai oleh masing-masing penguasa setempat. Para penguasa ini ketika terjadi ketegangan di dalam kekuasaan istana Bagdad, mencoba memisahkan diri dari pemerintahan Abbasiyah di Bagdad. Adapun diantara kerajaan-kerajaan Islam yang memisahkan diri dari kekuasaan Abbasiyah adalah :
a.Dinasti Umayyah di Andalusia
b.Dinasti Idrisiyah di Maroko
c.Dinasti Aghlabiyyah (184-296 H / 800-909M)
d.Dinasti Thukuniyyah (254-292 H / 868-905 M)
e.Dinasti Ikhsyidi (323-358 H / 935- 969 M)
f.Dinasti Hamdaniyah (293-394 H / 905-1004 M)
g.Dinasti Thahiriyah (205-259 H/ 821-873 M)
f)Kuatnya pengaruh faham sufi dan taklid
Ilmu tasawuf adalah ilmu hakekat yang pada intinya mengajarkan penyerahan diri kepada tuhan, meninggalkan kesenangan dunia dan hidup menyendiri untuk beribadah kepada Allah. Ilmu ini banyak berpengaruh dalam kehidupan masyarakat Islam setelah serangan bangsa Mongol dan hancurnya pusat peradaban islam  Bagdad. Praktek mistik ajaran agama lain. Sehingga disana ditemukan adanya penyimpangan ajaran. Begitupun soal taqlid, karena masyarakat Islam tidak mau berijtihad lagi, akhirnya terikat dengan ajaran para tokoh sebelumnya dan bertaqlid buta. Bersamaan dengan lahirnya ilmu tasawuf pada zaman daulah bani Abbasiyah, muncul pula ahli-ahli dan ulama-ulamanya, di antara mereka itu adalah:
1.Al Qusyairi yaitu abu kasim Abdul Karim bin Hawazin al Qusyairi, wafat tahun 465 H. Kitab tasawuf yang terkenal ”Ar Risalatul Qusyairi”.
2.Syahabuddin, yaitu Abu Hafas Umar bin Muhammad Syahabuddin Sahrawardy, wafat di Bagdad tahun 632 H. Kitab tasawufnya ”Awaritul Ma’arif”.
3.Imam Ghazali, yaitu Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al Ghazali lahir di Thus dalam abad ke V H. Meninggal pada tahun 502 H. Dalam Fiqh menganut mazhab Syafi’i, beliau membawa aliran baru dalam dunia tasawuf dengan kitabnya Ihya Ulumuddin.
g)Faktor eksternal
Faktor eksternal disebabkan oleh adanya perang salib yang berkepanjangan dalam beberapa gelombang dan penyerbuan bangsa mongol. Adapun puncak keruntuhan bani abbas adalah penyerbuan bangsa mongol dan Tartar yang dipimpin oleh Hulagu Khan, yang berhasil menjarah semua pusat-pusat kekuasaan maupun pusat ilmu, yaitu perpustakaan di Baghdad.

B.Faktor – Faktor Munculnya Dinasti Abbasiyah
Dinasti Abbasiyah yang berkuasa selama lebih kurang enam abad ( 132 – 656 H/ 750-1258 M ), didirikan oleh Abul Abbas al- Saffah dibantu oleh Abu Muslim al-Khurasani, seorang jendral muslim yang berasal dari Khurasan, Presia. Gerakan-gerakan perlawanan untuk melawan kekuasaan dinasti Bani Umayyah sebenarnya sudah dilakukan sejak masa-masa awal pemerintahan dinasti Bani Umayyah, hanya saja gerakan tersebut selalu digagalkan oleh kekuatan militer Bani Umayyah, sehingga gerakan-garakan kelompok penentang tidak dapat melancarkan serangannya secara kuat. Tapi dimasa-masa akhir pemerintahan dinasti Bani Umayyah gerakan tersebut semakin menguat seiring banyaknya protes dari masyarakat yang merasa tidak puas atas kinerja dan berbagai kebijakan pemerinatah dinasti Bani Umayyah. Gerakan ini menemukan momentumnya ketika para tokoh dai Bani Hasyim melancarkan serangannya.
Para tokoh tersebut antara lain Muhammad bin Ali, salah seorang keluarga Abbas yang menjadikan kota Khufa sebagai pusat kegiatan perlawanana. Gerakan Muhammad bin Ali mendapat dukungan dari kelompok Mawali yang selalu ditempatkan sebagai masyarakat kelas dua. Selain itu, juga dukungan kuat dari kelompok Syi’ah yang menuntut hak mereka atas kekuasaan yang pernah dirampas oleh dinasti Banui Umayyah. Akhirnya pada tahun 132 M H/ 750 M, Marwan bin Muhammad dapat dikalahkan dan akhrinya tewas mengenasakan di Fustat, Mesir pada 132 H / 705 M. Sejak itu, secara resmi Dinasti Abbasiyah mulai berdiri.
C.Perkembangan Tasawuf Daulat Bani Abbasiyah
Pada masa Abbasiyah telah hadir Dzu al-Nun Al-Mishri, ia dilahirkan di Mesir pada tahun 190-an Hijriah, dikenal sebagai pengkritik prilaku ahli hadis-Ulama fiqh, Hadis, dan teologi- yang dinilai mempunyai perselingkuhan dengan duniawi, sebuah kritikan yang membuat para Ahlu al-Hadist kebakaran jenggot dan mulai menyebut al-Mishri sebagai Zindiq, pada tingkat penolakan yang kuat oleh ahlu al-hadist membuat ia memutuskan untuk pergi ke Baghdad yang saat itu dipimpin oleh khalifah al-Mutawakkil, setelah ia diterima oleh khalifah dan dikenal dalam lingkungan istana, pihak Mesir pun menjadi segan kepadanya, al-Mishri dikenal sebagai orang pertama yang mengenalkan maqamat dalam dunia sufi dan telah dikenal sebagai sufi yang dikenal luas oleh para peneliti tasawuf. Pemikirannya menjadi permulaan sistematisasi perjalanan ruhani seorang sufi. Ia meninggal pada tahun 245 H di Qurafah Shugra dekat Mesir. Setelah Al-Misri, datang seorang sufi bernama Surri al-Saqathi pada 253 H, ia mengenalkan uzlah-uzlah yang sebelumnya hanya dikenal sebagai tindakan menyendiri secara personal, dikembangkan al-Saqathi menjadi “uzlah kolektif”, uzlah yang ditujukan untuk menghindari kehidupan duniawi yang melenakan ataupun kehidupan duniawi yang penuh degan pertentangan, intrik dan pertumpahan darah. Pada masa-masa diatas telah mulai dikenal istilah sufi di beberapa kalangan, sebuah sebutan bagi mereka yang menghindari secara ketat terhadap kesenangan duniawi dan memilih untuk memfokuskan diri pada perkara uhkrawi (kelak konsep uzlah inilah yang banyak dianut oleh tasawuf sunni dikemudian hari).
Abu Yazid al-Bustami pada 260 H/873 M, seorang sufi Persia yang mulai mengenalkan konsep ittihad atau penyatuan asketis dengan Tuhan, penyatuan tersebut menurutnya dilalui dengan beberapa proses, mulai fana’ dalam dicinta, bersatu dengan yang dicinta, dan kekal bersamanya. wajar jika al-Bistami dianggap oleh Nicholson sebagai pendiri tasawuf dengan ide orisinil tentang wahdatul wujud di timur sebagaimana theosofi yang meruapakan kekhasan pemikiran Yunani. Pengaruh Abu Yazid saat itu sangat luas bukan hanya di dunia muslim tapi menembus hingga batas-batas agama. Tapi tentu ungkapan-ungkapan al-Bistami telah menghadirkan pertentangan dengan Ulama’ Hadis, mereka mengcam pandangan-pandangan pantheisme al-Bistami yang di anggap sesat. Pasca Al-Bishtami, Al- Junaidi pada 297 H/909 M hadir dengan coba mengkompromikan tasawuf dengan syariat, hal ini ia lakukan setelah melihat banyaknya pro-kontra antara sufi dan ahlu al-hadis di masanya, lagi pula al-Junaid juga mempunyai basik sebagai seorang ahli hadis dan fiqh. Dengan apa yang dilakukannya, al-Junaid berharap kalangan ortodoksi Islam tidak menghakimi kaum tasawuf sebagai kaum yang sesat. Dan rupanya al-Junaid berhasil, minimal ia telah mengubah cara pandang kalangan ortodoksi terhadap tasawuf. Tampil bersama dengan al-Junaid, al-Kharraj (277 H) yang juga menelurkan karya-karya kompromistis antara ortodoksi Islam dan tasawuf.
Al-Hallaj, murid al-Junaid yang hidup pada 244-309 H/858-922 M hadir dengan lebih berani dan radikal, sufi yang juga pernah berguru pada para guru sufi di bashra ini hadir dengan konsep hulul yaitu konsep wahdatul wujud dalam versi yang lain, jika al-Bistami memulainya dengan fana’ fillah, maka al-Hallaj mengemukakan pemikiran al-hulul yang berangkat dari dua sifat yang dipunyai manusia yaitu nasut dan lahut dengan cara mengosongkan nasut dan mengisinya dengan sifat lahut maka manusia bisa ber-inkarnasi dengan Allah atau yang terkenal dengan istilah hulul, dan seterusnya. Al-Hallaj tidak memakai tedeng aling-aling dalam menceritakan pengalaman spiritualnya dalam khalayak umum, baginya yang ada hanyalah Allah, tidak ada sesuatu pun yang harus ditutupi dari sebuah kebenaran, baginya kecintaan pada Allah dan “persetubuhan” dengan Allah dapatlah diraih, bahkan saat al-Hallaj dipasung ia sempat berkata,”Ya Allah ampunilah mereka yang tidak tahu, seandainya mereka tahu tentu mereka tidak akan melakukan hal ini”.
Para sufi-sufi diatas kemudian diklasifikasikannya sebagai sufi falsafi dan sufi amali akhlaqi, diantara yang termasuk tasawuf falsafi adalah al-Hallaj, al-Farabi, dan al-Bistami, dan diantara yang menganut tasawuf amali adalah al-Junaid dan al-Kharraj. Kaum falsafi biasanya diidentikkan dengan konsep sakr (kemabukan) dan isyraqiyah (pancaran), adapun tasawuf amali atau akhlaqi biasanya diknal dengan konsep sahw (ketenangan hati) dan zuhd.
a)Tasawuf Masa Kematangan
Evolusi dunia tasawuf masih terus berlangsung dalam mencari bentuknya, pengalaman-pengalaman esoteric dan asketis diceritakan dan dirangkai secara ilmiah. Dipadukan dengan justifikasi-justifikasi ortodoksi. Pada masa al-Ghazali (450-505 H/1058-1111 M), istilah-istilah tasawuf telah mendapatkan definisinya, ketika seorang sufi menyebut satu istilah, maka yang lainnya akan segera paham dengan apa yang dimaksud. Masa ini adalah masa titik puncak dimana tasawuf telah menemukan bentuknya. Menjadi seorang sufi pada masa ini tidaklah semudah menjadi sufi pada masa awal. Menjadi sufi pada masa ini haruslah melalui prasyarat-prasyrat yang telah dibangun oleh Ulama’-Ulama’ sebelumnya, terutama hal ini Nampak pada tradisi tasawuf amali yang banyak berlaku di kalangan sunni, sedangkan di kalangan syi’i pengaruh itu dapat kita temui hanya pada tataran pemikiran mulai dari neo-platonisme hingga menjadi theosofi pancaran/pencahayaan.
Al-Ghazali hadir menawan siapa saja yang melihatnya, ia menyerang budaya theosofi falsafi yang dianut oleh banyak para Filosuf dan sufi falsafi. Seperti halnya al-Junaid ia juga mencoba menarik kembali budaya-budaya sufistik ke dalam ortodoksi Islam, ia mengenalkan konsep ma’rifah sebagai jalan tengah pantheisme yang terjadi pada kaum falsafi. Banyak buku yang dilahirkannya, tapi petunjuk besarnya adalah kitab ihya’ ulum al-din yang ditulis mendekati akhir hidupnya di kota Makkah, karyanya yang paling tebal dan memuat apa saja yang harus dilakukan oleh seorang pencari Tuhan. Al-Ghazali menandai dimana era tasawuf dapat diterima secara luas di kalangan sunni tanpa rasa takut dihukum penguasa. Tasawuf dianggap sebagai jalan alternative yang begitu digandrungi. Tapi pada saat itu pelembagaan amaliah-amaliah dalam pengajaran tasawuf belumlah terjadi. Amaliah dilakukan dengan fleksibel dan lebih berorientasi pada makna. Karangan-karangan Ulama’ masih diangap sebagai sebuah teori dalam ilmu sosial dan belum dianggap sebagai hukum layaknya dalam ilmu fisika.
Para murid yang berpindah-pindah guru setelah menyelesaikan suatu disiplin limu masih sesuatu yang lazim dilakukan. Tapi pada saat banyak tertariknya msyarakat luas akan dunia tasawuf dengan berbagai faktornya membuat para guru sufi merasa perlu untuk tetap memperhatikan perkembangan para murid yang berada dalam bimbingannya. Murid bimbingan yang awalnya hanya beberapa atau beberapa puluh, pada masa ini telah mekar menjadi beberapa ratus bahkan ribu hingga membuat para masayikh mengutus dan memercayakannya menjabat sebagai wakil dirinya di beberapa kesempatan dan tempat. Dari sini kemudian berlanjut pada madhab tasawuf guru siapa yang dianut.
b)Kristalisasi Tasawuf ke Tarekat
Tuntunan al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-din dan Bidayah al-Hidayah rupanya telah diterjemahkan oleh para pengikut di sekitarnya dengan kelahiran amaliah-amaliah yang memerlukan panduan guru (syaikh). Jalan tasawuf biasanya diikuti dalam konteks kelompok. Kelompok para salikin (pencari Tuhan) yang mengitari Syaikh-nya, hal ini biasa disebut sebagai halaqah: Lingkaran. Para anggota halaqah berhubungan erat sebagai sesama musafir di jalan menuju Tuhan. Pada akhirnya ligkaran-lingkaran awal ini bergabung membentuk tarekat: jalan, persaudaran. Tarekat-tarekat itu sendiri muncul beranjak dari sebuah kesadaran membuat sistematika taqarrub kepada Allah dan dari sebuah kesadaran yang timbul dari para syeikh-Syeikh tarekat yang merasa perlu memberi sebuah thariqah pada murid-murid tarekat, sebuah jalan yang dianggap sebagai bentuk implementasi pemikiran tasawuf. Dari sana kemudian para masayikh memberikan binaan kepada muridnya dalam metodologi pencapaian makrifat.
Dari sana pula kemudian timbul bagaimana seorang murid harus memulai pencariannya untuk menemukan wujud Allah, kemudian diatur pula tentang bagaimana adab murid terhadap guru, juga bagaimana tatacara berdzikir pada Allah. Abu Sa’id Ibn Abi al-Khayr dianggap sebagai sufi petama yang menyusun aturan-aturan peribadatan dan menyusun kitab etika kehidupan komunal. Tarekat pertama yang berdiri secara resmi dalam dunia Islam adalah tarekat qadiriyah dengan syeikh agungnya Muhibbin Abu Muhammad Abdul al-Qodir al-Jilani pada 1166 M, setelah qadiriyah hadir tarekat rifaiyah yang didirikan oleh Ahmad Ar-Rifa’I (1175 M), tarekat Suhrawardi yang dinisbatkan pada Abu Nadjib al-Suhrawardi secara defacto didirikan oleh kemenakannya Umar al-Suhrawardi (1145-1234 M), tarekat maulawiyah menjadi terekat keempat yang muncul, tarekat ini muncul di Anatolia, didirikan oleh penggubah puisi mistik agung Jalaluddin al-Rumi (1273 M), syadiliyah menjadi terekat yang didirikan selanjutnya oleh Ali al-Shadhili (1256 M)-dari tarekat syadiliyah ini kemudian pada abad 15 berdiri tarekat isawiyah-, berlanjut ke tarekat badawiyah yang muncul di selatan Mesir didirikan oleh Ahmad Badawi (1274 M), naqsyabandiyah yang didirikan oleh Muhammad bin Muhammad Bahauddin al-Uwaisi al-Bukhari Naqsyabandi yang hidup pada 717-791 H/1318-1389 M menjadi terkat yang muncul setelah tarekat-tarekat sebelumnya, tarekat syattariyah yang didirikan oleh Abdullah al-Syattar, tarekat sanusiyah yang dinisbatkan pada Sidi (Sayyidi) Muhammad bin Ali al-Sanusi, seorang syaikh dari Algeria (1791-1859 M) yang berkembang luas di Afrika Utara.
Sebagian tarekat diatas banyak dianut di daerah Asia Tengah dan Asia Tenggara termasuk beredar luas di Indonesia bahkan ada yang menfusikan menjadi tarekat qadiriyah-naqsyabandiyah, yaitu gabungan antara tarekat qadiriyah dan naqsyabandiyah. Ada yang bertanya mengapa bukan tarekat taifuriyah yang notebene dinisbatkan pada tokoh sebelum orang-orang diatas, hal itu karena dalam terekat taifuriyah tidaklah didirikan oleh orang yang menjadi nisbat dalam nama tarekat tersebut tetapi didirikan oleh keturunannya ataupun oleh muridnya yang hidup setelah tokoh yang menjadi nisbat itu meninggal, atau tepatnya setelah kehidupan tarekat marak di dunia Islam. Mereka rata-rata berbicara tentang tahapan-tahapan (maqamat-maqamat) yang harus dilalui seorang murid seperti apa yang telah penulis kemukakan diatas. Metode pencapaian Tuhan yang diterapkan oleh masayikh tersebut telah secara tidak langsung telah menelurkan lembaga-lembaga terekat yang menaungi para pengikut tarekat yang terdiri dari Syaikh, Murid, dan funduq (tempat penginapan) untuk melatih para murid tarekat dalam pencapaian menuju Tuhan. Dan biasanya bertempat di pedesaan atau pegunungan. Periodesasi tarekat ini oleh Georges C. Anawati dipandang secara garis besar sebagai masa kemunduran gerakan sufisme. Karena bagi Anawati, pada masa ini secara garis besar tidak ada lagi ide yang orisinil yang muncul dari dunia tasawuf.

III.KESIMPULAN
Dinasti Abbasiyah adalah suatu dinasti (Bani Abbas) yang menguasai daulat (negara) Islamiah pada masa klasik dan pertengahan Islam. Daulat Islamiah ketika berada di bawah kekuasaan dinasti ini disebut juga dengan Daulat Abbasiyah. Daulat Abbasiyah adalah daulat (negara) yang melanjutkan kekuasaan Daulat Umayyah. Dinamakan Dinasti Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan Abbas (Bani Abbas), paman Nabi Muhammad SAW.
Kahancuran dinasti Abbasiyah tidaklah terjadi dengan begitu saja tapi melalui proses yang lama, Diantara hal-hal yang menyebabkan kemunduran kerajaan Abbasiyah, antara lain:
a)Melebihkan bangsa asing dari pada bangsa arab.
b)Ketergantungan pada tentara bayaran
c)Fanatisme kebangsaan (persaingan antar bangsa)
d)Kemerosotan ekonomi
e)Timbulnya kerajaan-kerajaan yang bebas dari kekuasaan bani Abbas
f)Kuatnya pengaruh faham sufi dan taklid
g)Faktor eksternal
Sedangkan Tasawuf berawal dari kesederhanaan dan kesalehan yang ditunjukkan dalam kehidupan Muhammad SAW dan para sahabatnya, sikap ini pada masa Umawiyah berkembang menjadi asketisme yang menekankan prilaku zuhd, khauf serta mahabbah oleh beberapa orang. Generasi kedua kemudian lebih intens lagi dalam mensistematisir kualitas hubungannya dengan sang pencipta, hal itu kemudian menjadi penanda lahirnya tasawuf, dunia orang-orang yang berasyik masyuk dengan dunia spiritual keagamaan, tasawuf awal mengenalkan konsep uzlah kolektif kemudian pula dikenal maqamat-maqamat, setelah itu dikenal musyahadah kemudian dikenal wahdatul wujud, terus berkompromi dengan syariat menjadi mukasyafah. Dan kemudian mengkristal menjadi tarekat sebagai jalan untuk mereka yang ingin mencapai Tuhan dengan para syeikh-nya yang menjadi pembimbing.
Tentu, penyelidikan ini bukanlah penyelidikan yang final, studi yang lebih intens bisa dilakukan untuk menguak tabir evolusi tasawuf dalam dunia Islam, penelitian dapat dilanjutkan pada bagaimana sebuah pemikiran ber-metamorfosa, bagaimana pula pengaruh wilayah dan kehidupan para sufi berpengaruh terhadap jalan pemikirannya. Karena penulis beranggapan bahwa sebuah pemikiran tidak mengkin langsung mempunyai bentuk jika maternya tidak ada. Jadi pasti ada materi dan bentuk awal yang melandasi setiap pemikiran para sufi dan bagaimana ia mencerna zamannya dalam pemikirannya, jadi ada semacam keterkaitan pemikiran dengan pemikiran lain dan juga yang paling penting adalah pengalaman sufistik yang dialami oleh para sufi. Yang perlu digali lagi adalah gerakan-gerakan yang terdapat dalam tarekat bagaimana ia bermula dan bagaimana pula ia dianggap sebagai sebuah riual dan kebenaran dalam mencari Tuhan. Bagaimana pula terdapat perbedaan yang sangat kontras antara gerakan satu tarekat dengan gerakan tarekat lain.

IV.PENUTUP
Puja dan puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. serta salawat serta salam  kita haturkan pada junjungan nabi besar Muhammad SAW, dengan kesabaran dan kasih sayangnya terhadap kita sebagai umatnya membimbing kita dari zaman kegelapan pada zaman yang penuh berkah dan kebahagiaan  seperti sekarang ini. Demikian makalah yang dapat kami sampaikan semoga apa yang terdapat dalam pembahasan makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua pada umumnya, dan khususnya bagi para pembaca. Apabila dalam makalah ini terdapat kesalahan baik dalam penulisan maupun pemaparannya, kami selaku pemakalah mohan maaf. Dan tidak lupa kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun, sehingga dapat dijadikan bahan perbaikan makalah yang akan datang.




DAFTAR PUSTAKA
Lapidus, Ira M, Sejarah Sosial Umat Islam , Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999
Syukur, Amin, Menggugat Tasawuf, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999
Siregar, Rivay, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo Klasik, Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2000
Sviri, Sara, Demikianlah Kaum Sufi Berbicara, Bandung: Pustaka Hidayah, 2002
Yafie, Ali, Syariah, Thariqah dan haqiqah, dalam kumpulan Artikel Yayasan Paramadina, Budhi Munawar Rachman (ed),Kontktualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, Jakarta:Paramadina Press,tt
Wahid, Achmadi, Drs. Sejarah Kebudayaan Islam, Menjelajahi Peradapan Islam, Jakarta, 2008

makalah metode kajian islam perspektip antropologi

BOOK REVIEW

SYAIKH AHMAD SURKATI (1874 – 1943)
PEMBAHARU DAN PEMURNI ISLAM
DI INDONESIA


Diajukan dalam diskusi kelas dalam mata kuliah
Metode dan Pendekatan Kajian Islam Perspektif Antropologi
yang dibina oleh Bapak Dr. Syamsun Ni’am, M.Ag












Oleh :

MUHASIB
NIM : 084 099 007





PROGRAM PASCA SARJANA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) JEMBER
OKTOBER 2009

A.PENDAHULUAN
Adalah Haji Zamzam pendiri Persatuan Islam Kiai Hasyim Ashari pendiri Nahdlatul Ulama dan Kiai Ahmad Dahlan Pendiri Muhammadiyah serta Ahmad Surkati Pendiri Al – Irsyad.
Mereka adalah pejuang agama dan negara. Yang tak hanya membaktikan dirinya pada pengembangan agama yang dibawa Rasulullah SAW akan tetapi turut juga menyuburkan semangat nasionalisme yang mengantarkan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945.
Bila Haji Zamzam, Kiai Hasyim Ashari atau Kiai Ahmad Dahlan hingga kini dibicarakan dan dikenang dengan penuh hormat, tidak demikian dengan Ahmad Surkati, pendiri Al – Irsyad yang bahkan dikenal sebagai guru Haji Zamzam, Ahmad Dahlan dan Al – Hasan ini bagai “anak hilang” dalam sejarah pergerakan sejarah di negeri ini.
Mungkin ketakpopuleran Ahmad Surkati berkaitan dengan sifat dan dasar berdirinya Al – Irsyad yang berbasis masa keturunan Arab, konsentrasi garapan organisasi ini di bidang sosial dan pendidikan. Mungkin pula surkati hanyalah imigran asal Sudan, dan bukan tokoh asli pribumi, factor lain barang kli ketidak sukaan Ahmad Surkati dan Al – Irsyad sendiri terhadap kultus individu, sebagaimana yang apa yang telah diperjuangkannya sejak berdiri organisasi ini sejak tahun 1913.
Surkati dilahirkan dipulau Arqu dekat Dongola pada tahun 1875 atau 1876. Dia berasal dari keluarga berpendidikan, ayah dan kakeknya menempuh pendidian di mesir dan ayahnya lulusan Al – Azhar. Surkati menerima pendidikan awal dari ayahnya serta menghafal Al – Qur’an pada usia belia. Ahmad Surkati dengan nama lengkapnya adalah Ahmad Bin Ahmad Surkari Al – Ashari, banyak belajar agama dari ayahnya, Muhammad seorang terpelajar lulusan Al – Azhar Kairo Mesir. Belajar dan menetap di Hejaz selama 15 tahun, untuk menimba ilmu – ulmu hadist. Dan karena kecerdasannya ia di minta mengajar di Mekkah.
Melihat sukses yang dicapainya di Mekkah, wajar bila orang merasa keheranan Surkati menerima undangan suatu organisasi kecil (jamiat khair), berpindah dari kota suci islam kedaerah jajahan yang jauh. Kepindahan ini di bicarakan luas oleh kalangan muslim melalui dunia pers arab internasional. Surkati sendiri menyatakan bahwa ia berpindah ke hindia karena ia merasa dapat lebih menyumbang dan lebih bermanfaat bagi islam di sini. Ia berkata,”antara kematianku mengejar iman di jawa dan kematianku tanpa mengejar iman di makkah, aku memilih jawa”.
Dan pahlawan ahmad surkati adalah terhadap praktek – praktek beragama yang menyimpang serta heterodoks (yang di pengaruhi animism, hindu, dan budha). Maka dari itu surkarti memandang perlu praktek – praktek agama tersebut dikembalikan pada ajaran yang benar.

B.BIOGRAFI PENULIS
Prof. Dr. Bisri Affandi, MA. Kelahiran kediri pada tanggal 17 Mei 1938. Adalah mantan Rektor IAIN Sunan Ampel (1987) dengan pendidikan terakhirnya M.A. Islamic Studies, Mc Gill University, Montreal, Canada (1976), telah banyak karya tulis ilmiahnya yang telah di terbitkan. Dan buku SYAIKH AHMAD SURKATI (1874 – 1943) PEMBAHARU DAN PEMURNI ISLAM DI INDONESIA, adalah salah satu buku terbitannya.

C.PEMBAHASAN
1.Jejak Langkah
Buku dengan tebal sebanyak 271 halaman ini, terdiri dari 6 bab pembahasan , yang merupakan sistematika pembahasan biografi dan pemikiran Surkati. Pada bab I bagian dari buku dengan judul Jejak Langkah, membahas tentang pribadi Ahmad Surkati dan keberangkatan petualangannya dalam belajar dan mengembangkan agama.
Sebutan “Surkati” yang berarti “banyak kitab” (Sur menurut bahasa setempat artinya “kitab”, dan katti menunjukkan pengertian “banyak”) . Nama lengkapnya adalah Ahmad bin Muhammad Surkati al-Ansari. Sebutan al-Ansari di belakang namanya diambil dari nama Jabir bin Abdullah Al-Ansari, yang di yakini ayahnya Muhammad. Masih mempunyai hubungan kekerabatan dengannya.
Sehabis dari Ma’had Sarqi Nawi di Dongola, ayahnya menginginkan Surkati juga menimba ilmu dimana ayahnya dulu pernah belajar, yakni Al – Azhar Mesir, namun hal itu tidak terlaksana dikarenakan pemimpin mesir ketika itu Abdullah Al – Ta’ayishi, tidak memperkenankan siapa saja orang sudan pergi ke Mesir. Dan Sudan saat itu (abad 19) di bawah kekuasaan Mesir, akan tetapi Surkati beragkat ke Mekkah pada tahun 1314 H/1896 M untuk menimba ilmu. Namun ia tak lama tinggal di Mekkah dan menuju ke Madinah memperdalam ilmu agama islam dan bahasa Arab. Guru – guru Ahmad Surkati di Madinah antaranya adalah dua ulama besar ahli hadist di Maroko, syeh Salih dan syeh Umar Hamdan. Ia juga belajar Al-Qur’an pada ulama ahli qira’at, yakni Syekh Muhammad Al-Khuyari Al-Maghribi ; belajar fikih dari ahli fikih yang tergolong wara’, yaitu Syekh Ahmad bin Al-Haji Ali Al-Mahjub dan Syekh Mubarak Al-Nismat; serta berguru bahasa Arab dari ahli bahasa bernama Syekh Muhammad al-Barzanji. Setelah itu ia kembali lagi ke Makkah dan menetap selama 11 tahun untuk belajar dan memperdalam ilmunya, terutama fiqh madzhab syafi’i. Hingga mendapat gelar al-Allamah dari Majlis Ulama Makkah. Dan Ahmad Surkati adalah satu – satunya orang Sudan yang pertama kali namanya terdaftar sebagai ulama Makkah.
Sejarahnya tiba Indonesia adalah ketika ia didatangkan oleh Pengurus Jamiat Khair, suatu perguruan yang pengurus dan anggotanya terdiri dari orang-orang Indonesia keturunan Arab. Maksud pengurus Jamiat Khair mendatangkan Ahmad Surkati ialah dalam rangka memenuhi kebutuhan guru. Menurut Deliar Noer, sekolah Jamiat Khair bukan lembaga pendidikan yang semata-mata bersifat agama, tetapi juga mengajarkan berhitung, sejarah, dan pengetahuan umum lainnya. Kemudian terjadi pereselisihan antara Ahmad Surkati dengan pengurus Jamiat Khair disebabkan ketersinggungan kaum Alawiyin terhadap “fatwa solo” Ahmad Surkati yang menegaskan bahwa perkawinan antara keturunan Alawi dengan non Alawi adalah boleh menurut syara’. Sehingga dengan semua ini berakhir kepada tidak dipakainya lagi Ahmad Surkati di lembaga tersebut dan ia mengundurkan diri pada tanggal 15 Syawwal 1332 H, bertepatan dengan 6 September 1914.
Pada saat itu, para pemuka masyarakat Arab Jakarta dari golongan non -Alawi , Umar Manggusy dan kawan – kawan menemui Ahmad Surkati dan memintanya untuk tidak kembali ke Makkah dan mengajaknya pindah untuk memimpin sebuah madrasah di Jati Petamburan. Dan Ahmad Surkati menerima ajakan dan permintaan tersebut tepat pada hari diama ia mengundurkan diri dari Jamiat Khair. Dan pada saat itu juga madrasah yang baru ia terima untuk dikelola dinamainya dengan Madrasah Al-Irsyad al-Islamiyyah. Bersamaan dengan itu dia juga menyetujui didirikannya Jam’iyat Al-Islah wa Al-Irsyad Al-Arabiyah. Bagi pemuka – pemuka Arab yang bukan dari golongan Alawi, keluarnya Ahmad Surkati dari Jamiat Khair dipandang sebagai awal kebangkitan dan perjuangan memperoleh persamaan derajat serta keadilan.. Sebab itu, mereka menyebut perpisahan Ahmad Surkati dengan Jamiat Khair sebagai “perpisahan di jalan Allah”.


2.Pembaharuan Islam di Indonesia
Ahmad Surkati bukan hanya dikenal sebagai seorang pemimpin terkemuka masyarakat Indonesia keturunan Arab tapi juga seorang tokoh penting dalam gerakan reformasi Islam. Ahmad Surkati berpisah dengan Al-Jam’iyat al-Khairiyah dan mendirikan gerakan Al-Irsyad pada 1913. Gerakan inilah yang kemudian mencoba mengembangkan ide pembaharuan Islam di Indonesia, tak terbatas hanya di kalangan warga keturunan Arab. . Ketika mendirikan Al-Irsyad Ahmad Surkati beruntung dengan bergabungnya teman-temannya, sesama guru dari Sudan, yang sebelumnya sudah mengenal karya – karya Mohammad Abduh dan Rasyid Ridha. Guru – guru asing ini, walaupu berjumlah kecil, ternyata menjadi pusat jaringan komunikasi yang secara sinambung menyalurkan pemikiran Islam modern dai Timur Tengah ke Jawa. Ahmad Surkati memberikan kontribusi yang besar pada lahir dan berkembangnya pembaruan Islam di Jawa secara keseluruhan.
3.Masyarakat Arab di Indonesia
Menurut pendapat Snouck Hurgronje, selama empat abad pimpinan agama Islam di Indonesia berada di tangan orang-orang India dan baru pada abad XVI pengaruh itu masuk di Indonesia melalui dua jalan, dari Hadramaut dan dari Makkah.
Kedatangan orang-orang Arab ke Indonesia sudah terjadi sejak abad ke-7 Masehi. Menurut Arnold, Coromandel dan Malabar Islam, pedagang Arab juga menyebarkan Islam ketika mereka dominan dalam perdagangan Barat-Timur sejak abad ke-7 dan ke-8 Masehi. Meskipun tidak terdapat catatan-catatan Sejarah tentang kegiatan mereka dalam penyebaran. Dari penjelasan ini dapat dibuktikan mengenai awal kedatangan orang-orang Arab di Indonesia. Senada dengan pendapat di atas, berpendapat juga bahwa Migrasi orang-orang Arab ke Indonesia terjadi jauh sebelum proses Islamisasi pada abad ke-15 dan abad ke-16. Selama berabad-abad lalu orang Arab sudah berdatangan ke Hindia Belanda. Mereka yang kebanyakan adalah pedagang, bersama dengan berbagai bangsa Timur Asing lainnya membentuk jalur komersial dimulai dari Mesir hingga Cina. Kelompok imigran terbesar bangsa Arab datang dari Hadramaut. Hal itu diperkuat dengan jenis marga yang dimiliki oleh orang-orang Arab yang ada di Indonesia hingga saat ini. Seorang pejabat suku Hadrami (sebutan untuk pendatang Arab asal Hadramaut) berkata, “tak banyak Negara lain yang mayoritas penduduk penduduknya tinggal di daerah lain”. Karena imigran dari negara lain hanya bertujuan hanya untuk berdagang. tidak untuk menetap. Hal ini diperkuat pendapat Morley , bahwa “bangsa Hadrami yang datang ke daerah Asia Tenggara pada mulanya hanya berniat untuk berdagang, dan baru berniat untuk menetap mulai tahun 1750 ke atas. Sedangkan orang arab dari negara lain, seperti Persia dan Arab Saudi mereka kembali setelah urusan dagangnya selesai. Namun tidak begitu halnya orang Arab Hadrami, sejak tahun 1750 mereka sudah menetap dan memiliki komunitas.
Dalam proses pelayaran, tentunya tidak langsung tiba ke tempat tujuan. Adanya halangan atau rintangan seperti cuaca yang tidak bersahabat, mengharuskan mereka berlabuh di tempat yang searah dengan jalur pelayarannya. Orang Arab yang berlayar ke Malaka dari negerinya sendiri, yaitu Hadramaut, mereka singgah dan berlabuh di salah satu pelabuhan India. Di sana sambil menunggu waktu yang baik untuk melanjutkan kembali pelayarannya, mereka tinggal bebarapa saat di perkampungan-perkampungan yang besar. Tercatat pula Ibnu Batutah, penjelajah Arab termasyhur, yang sempat singgah selama dua bulan pada tahun 1347 (semasa tahta Al-Malik Al-Zahir) menunggu perubahan cuaca di masa musim hujan. Selain singgah, tampaknya ia bertemu dengan sejumlah teman sebangsa dan seagama. Di abad ini, daerah pemukiman komunitas Arab hanya berada di beberapa tempat penting di pesisir pulau Sumatera. Perkampungan mereka ini kemudian tumbuh sebagai tempat mereka berdagang.
“Teori Arab” yang disampaikan oleh Nieman dan de Hollander dengan sedikit revisi; mereka memandang bahwa pembawa Islam ke Indonesia adalah Hadramaut, Yaman Selatan. Orang Arab pertama kali datang ke Indonesia, berdasarkan sumber Cina, bahwa akhir abad ke-13 seorang pedagang Arab menjadi pemimpin sebuah pemukiman Arab muslim di pesisir pantai Sumatera. Sebagian orang-orang Arab ini dilaporkan melakukan perkawinan dengan wanita pribumi, sehingga membentuk suatu komunitas Muslim yang terdiri orang-orang Arab pendatang dan penduduk lokal.
“Teori Arab” diatas berhubungan dengan pendapat Hussein Badjerei dalam bukunya “Al-Irsyad Mengisi Sejarah Bangsa”. Menjelaskan bahwa pada tahun permulaan abad ke-19, para perantau Arab itu sudah menjadi penduduk kota-kota besar di Indonesia. Umumnya mereka adalah pedagang. Bagian terbesar dari mereka itu berasal dari Hadramaut. Mereka merantau ke Indonesia tanpa membawa istri-istri mereka. Sebagian besar dari mereka kemudian menikahi perempuan-perempuan Indonesia, kemudian beranak pinak dan tidak kembali lagi ke negeri asalnya.
Imigran Arab dari Hadramaut, dimana mereka dibagi dalam tiga kelas masyarakat; yaitu pertama, orang-orang biasa dan kelas bawah di Hadramaut, termasuk pedagang kecil. Kedua, orang-orang terpelajar yang dengan bangga mendapat gelar Syaikh dan dianggap sebagai pemimpin agama. Di Hadramaut para Syaikh ini menyukai posisi tinggi mereka. Ketiga, golongan Sayyid yang menganggap dirinya keturunan langsung Nabi Muhammad SAW. Mereka berasal dari garis keturunan Sayyid Basrah, Ahmad Al-Muhajir yaitu cucu ketujuh dari Husain.
Van den Berg berpendapat bahwa di antara sekian banyak suku Arab, penduduk Hadramaut dikenal sebagai suku pengembara, tidak ubahnya dengan suku Bugis dan Minangkabau di Indonesia. Namun bukan saja di Asia Tenggara, bisa dijumpai pula keturunan Arab Hadrami, bahkan hampir merata di negeri Arab Hadramaut, India dan Afrika sekalipun. Menurut mantan sekretaris Raja Faisal, Sheikh Abdullah Kamil, ada tiga karakteristik menonjol dari pendatang Hadramaut di Saudi yang mengantar kesuksesannya di bidang ekonomi. Kewiraswastaan, kejujuran dan loyalitas.
4.Pemikiran, Pemurnian Ajaran Islam
Apa yang dilakukan Ahmad Surkati sesungguhnya dilatar belakangi adanya pelapisan sosial masyarakat Hadrami dimana kaum Alawi yang dipercayai sebagai keturunan Ali-Fatimah (menantu dan anak Rasulallah) dianggap mempunyai kemuliaan (tafadul) tersendiri. Dengan kemuliaaan itu mereka mendapatkan kedudukan istimewa. Namun, bersamaan dengan keistimewaan itu, ada kebodohan yang berkembang subur, yakni kaum Alawi memandang rendah para ikmuwan non Alawi. Bahkan lebih jauh lagi, ada keyakinan bahwa orang sharif atau sayyid berhubungan dengan masalah nasib dan keselamatan dunia akhirat, yakni sebagai wali (wasilah) antara manusia dan Tuhan. Yang demikian ini mendapat sambutan positif warga keturunan Arab non Alawi. Dan pemikirannya dianggap sebagai tonggak musawah , yakni persamaan derajat dan egaliter. Yang ketika itu bahkan sampai saat ini sikap diskriminatif kaum Alawi kepada non Alawi masih terjadi. Konsep gerakan pembaharuan yang digali Ahmad Surkati, bersama guru-guru yang datang dari timur tengah, telah dirumuskan dalam bentuk Mabadi Al-Irsyad, yaitu Mengesakan Allah dengan sebersih-besihnya, pengesaan dari segala hal yang berbau syirik, mengikhlaskan ibadah kepada-Nya dan meminta pertolongan kepada-Nya dalam segala hal.
1.Mewujudkan kemerdekaan dan persamaan di kalangan kaum muslimin dan berpedoman kepada Al-Qur’an, Assunnah, perbuatan para imam yang syah dan perilaku ulama salaf dalam persoalan khilafiyah.
2.Memberantas taqlid buta tanpa sandaran akal dan dalil naqli
3.Menyebarkan ilmu pengetahuan, kebudayaan Arab-Islam dan budi pekerti luhur yang diridloi Allah.
4.Berusaha mempersatukan kaum Muslimin dan bangsa Arab sesuai dengan kehendak dan ridlo Allah.

D.KRITIK
Terdapat perbedaan tahun kelahiran Ahmad Surkati dalam keterangan antar buku yang berbeda. Dalam bukunya Bisri Affandi ini diterangkan bahwa Ahmad Surkati lahir pada tahun 1874. Berbeda dengan keterangan Anis Baswedan dalam bukunya Hadrami Awakening yang menjelaskan secara ragu yakni antara tahun 1875 atau 1876. Hal ini mungkin saja terjadi, bahkan dalam buku yang lain mungkin, karena pembahasan tentang sejarah kemungkinan perbedan perspektif pasti terjadi. Namun perbedaaan ini tidak terlalu signifikan dibanding sumbangsih pemikiran – pemikiran Ahmad Surkati sebagai pembaharu dan pemurni Islam di Indonesia.

E.PENUTUP
Dari seluruh data yang dikaji, baik yang bersumber dari dokumen maupun pendekatan oral history, jelas bahwa Ahmad Surkati adalah pembaharu dan pemurni ajaran Islam yang konsentrasi pemikirannya ditujukan ke kalangan masyarakat Arab Indonesia asal Hadramaut. Bahwa pemikiran – pemikirannya juga berpengaruh terhadap pembaharuan dan pemurnian Islam di Indonesia, tak lain adalah konsekwensi implikatif dari adanya kesamaan waktu. Pemikiran – pemikirannya yang didukung kepribadian penuh kesungguhan dalam mengetengahkan pandangan keagamaan yang benar, menimbulkan dorongan dan keberanian bagi pemimpin – pemimpin organisasi semisal Muhammadiyah, Persis, dan Jong Islamieten Bond.





DAFTAR PUSTAKA

Affandi, B. 1999. Syaikh Akhmad Syurkati (1874-1943) Pembaharu dan Pemurni Islam di Indonesia. Jakarta: Al-Kautsar.

Al-Irsyad, Dewan PP. 1981. Pedoman Dasar AD/ART Program Perjuangan Ikhtisar Sejarah Al-Irsyad. Jakarta: tanpa penerbit.

Azra, A. 2004. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Jakarta: Kencana
Wahid, Achmadi, Drs. 2008, Sejarah Kebudayaan Islam, Menjelajahi Peradapan Islam, Jakarta: