Selasa, 12 Januari 2010

studi pemikiran islam, hasan hanafi raji al_faruqi

MAKALAH

KALAM KONTEMPORER
RAJI AL – FARUQI DAN HASAN HANAFI


Diajukan dalam diskusi kelas dalam mata kuliah
Studi Pemikiran Islam yang dibina
oleh : Bapak Dr. Moniron, M.Ag






















Oleh :

MUHASIB
NIM : 084 099 007







PROGRAM PASCA SARJANA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) JEMBER
OKTOBER 2009

A.PENGANTAR
Dalam makalah ini kami akan memaparkan sedikit tentang pemikiran Ismail Raji Al – Faruqi dan Hasan Hanafi yang mana mereka sama – sama membangun islam dan kaum muslimin yang di awali oleh komitmen teguhnya pada islam. Oleh karena itu kepemimpinan mereka yang mendedikasikan diri pada pembaharuan dan reformasi. Baginya, kerja merupakan dakwah sesungguhnya, pergulatan nyata untuk merealisasikan dan mengaktualisasikan islam dan sejarah.

B. Pemikiran Kalam Raji Al - Faruqi
Pemikiran kalam Al – Faruqi tentang kalam dalam ditelusuri melalui karyanya yang berjudul, Tahwid: Its Implication for Thought and Life (Edisi indonesianya berjudul Tauhid). Sesuai dengan judulnya.buku ini mengupas hakikat tauhid secara mendalam. Al – Faruqi menjelaskan hakikat tauhid sebagai berikut :
a.Tauhid sebagai inti pengalaman agama
Inti pengalaman agama, kata Al – Faruqi adalah tuhan. Kalimat shahadat menempati posisi sentral dalam setiap kedudukan, tindakan dan pemikiran setia muslim. Kehadiran tuhan mengisi kesadaran muslim dalam setiap waktu. Bagi kaum muslimin, Tuhan banar – banar merupakan obsesi yang agung.1 Esesnsi pengalaman agama islam tiada lain adalah realisasi prinsip bahwa hidup dan kehidupan ini tidaklah sia – sia.2
b.Tauhid sebagai pandangan dunia
Tauhid merupakan pandangan umum tentang realitas, kebenaran, dunia, ruang, dan waktu, sejarah manusia dan takdir.
c.Tauhid sebagai intisari islam
Dapat dipastikan bahwa esensi peradapan adalah islam sendiri, dan esensi islam adalah tauhid atau pengesaan tuhan. Tidak ada satu perintahpun dalam islam yang dapat dilepaskan dari tauhid. Tanpa tauhid islam tidak akan ada. Tanpa tauhid bukan hanya sunnah nabi yang patut diragukan, bahkan pranata kenabianpun menjadi sirna.4

1)Ismail Raji Al-Fauqi, Tauhid, terjemah. Rahmani Astuti, Pustaka, 1988, hlm. 1.
2)Ibid, hlm.13
3)Ibid, hlm. 16, 17, 18.

d.Tauhid sebagai prinsip sejarah
Tauhid menempatkan manusia pada suatu etika berbuat atau bertindak, yaitu etika ketika keberhargaan manusia sebagai pelaku moral yang di ukur dari tingkat keberhasilan yang dicapainya dalam mengisi aliran ruang dan waktu, Eskatologi islam tidak mempunyai sejarah formatif. Ia terlahir lengkap dalam Al – Qur’an dan tidak mempunyai kaitan dengan situasi para pengikutnya pada masa kelahirannya seperti halnya dalam agama Yahudi dan Kristen. Ia dipandang sebagai suatu klimaks moral bagi kehidupan diatas bumi.4
e.Tauhid sebagai prinsip pengetahuan
Berbeda dengan “iman” Kristen, iman islam adalah kebenaran yang diberikan kepada pikiran, bukan kepada perasaan manusia yang mudah mempercayai apa saja, kebenaran, atau proposisi iman bukanlah misteri, hal yang sulit dipahami dan tidak dapat diketahui dan tidak masuk akal, melainkan bersifat kritis dan rasional. Kebenaran – kebenarannya telah dihadapkan pada ujian keraguan dan lulus dalam keadaan utuh dan ditetapkan sebagai kebenaran.5
f.Tauhid sebagai prinsip metafisika
Dalam islam, alam adalah ciptaan dan anugrah. Sebagai ciptaan, ia bersifat teleologis, sempurna , dan teratur, sebagai anugrah, ia merupakan kebaikan yang tak mengandung dosa yang disediakan untuk manusia. Tujuannya adalah memungkinkan manusia melakukan kebaikan dan mencapai kebahagiaan. Tiga penilaian ini, keteraturan, kebertujuan, dan kebaikan, menjadi cirri dan meringkas pandangan umat islam tentang alam.6
g.Tauhid sebagai prinsip etika
Tauhid menegaskan bahwa Tuhan telah memberi amanahnya kapada manusia, suatu amanah yang tidak bias dipikul oleh langit dan bumi, amanah yang mereka hingdari dengan penuh ketakutan. Amanah atau kepercayaan Ilahi tersebut berupa pemenuhan unsure etika dari kehendak Ilahi, yang sifatnya mensyaratkan bahwa ia harus direalisasikan dengan kemerdekaan,

4)Ibid, hlm. 35, 37.
5)Ibid, hlm.42
6)Ibid, hlm. 51.

dan manusia adalah satu – satunya mahluk yang mampu melaksanakannya. Dalam islam, etika tidak dapat dipisahkan dari agama dan bahkan dibangun diatasnya.7
h.Tauhid sebagai prinsip tata social
Dalam islam, tidak ada perbedaan antara manusia satu dan lainnya, masyarakat islam adalah masyarakat terbuka dan setiap manusia boleh bergabung dengannya, baik sebagai anggota tetap ataupun sebagai yang dilindungi (dzimmah). Masyarakat islam harus mengembangkan dirinya untuk mencakup seluruh umat manusia. Jika tidak, ia akan kehilangan klaim keislamannya. Selanjutnya, ia mungkin akan hidup sebagai komonitas islam yang lain, atau oleh komonitas non-Islam.8
i.Tauhid sebagai prinsip ummah
Al – Faruqi menjelaskan prinsip ummah tauhidi dengan tidak identitas: pertama menentang etnosentrisme. Maksudnya, tata social islam universal, mencakup seluruh umat tanpa kecuali, tidak hanya untuk segelintir etnis. Kedua, universalisme. Maksudnya, islam bersifat universal dalam arti meliputi seluruh manusia. Cita – cita komonitas universal adalah cita – cita islam yang di ungkapkan dalam ummah dunia. Ketiga,Totalisme. Maksudnya islam relevan dengan setiap bidang kehidupan manusia. Totalisme tata social islam tidak hanya menyangkut aktivitas manusia dan tujuannya dimasa mereka saja, tetapi juga mencakup seluruh aktivitas disetiap masa dan tempat. Keempat,Kemerdekaan. Maksudnya, tata social islami adalah kemerdekaan. Jika dibangun dengan kekerasan atau dengan memaksa rakyat, islam akan kehilangan sifatnya yang khas.9
j.Tauhid sebagai prinsip keluarga
Al – Faruqi memandang bahwa selama tetap melestarikan identitas mereka dari gerogotan komonisme dan idiologi – idiologi barat, umat islam akan menjadi masyarakat yang selamat dan tetap menempati kedudukannya yang terhormat. Keluarga islam memiliki peluang lebih besar untuk tetap lestari sebab di topang oleh hokum islam dan diterminisi oleh hubungan erat dengan tauhid.10
7)Ibid, hlm. 61, 64.
8)Ibid, hlm. 102.
9)Ibid, hlm. 109, 110, 111, dan 112.
10)Ibid, hlm. 137.
k.Tauhid sebagai prinsip tata politik
Al – Faruqi mengaitkan tata politik tauhidi dengan kekhalifaan didefinisikan sebagai kesepakatan tiga deminsi, yakni kesepakatan wawasan (ijma’ al-ruya’). Wawasan yang dimaksud Al – Faruqi adalah pengetahuan akan nilai – nilai yang membentuk kehendak Ilahi. Kehendak yang dimaksud Al – Faruqi juga apa yang disebut ashabiyah ,yakni kepedulian kaum muslimin menanggapi peristiwa – peristiwa dan situasi dengan satu cara yang sama, dalam kepatuhan yang padu terhadap seruan Tuhan. Adapun yang dimaksud dengan tindakan adalah pelaksanaan kewajiban yang timbul dari kesepakatan.11
l.Tauhid sebagai prinsip tata ekonomi
Al – Faruqi melihat bahwa premis mayor implikasi islam untuk tata ekonomi melahirkan dua prinsip utama: Pertama, bahwa tak ada seorang atau kelompokpun boleh memeras yang lain. Kedua, tak satu kelompokpun boleh mengasingkan atau memisahkan diri dari umat manusia lainnya dengan tujuan untuk membatasi kondisi ekonomi mereka pada diri mereka sendiri.12
m.Tauhid sebagai prinsip estetika
Tauhid tidak menentang kreatifitas seni, juga tidak menentang kenikmatan dan keindahan. Sebaliknya, islam memberkati keindahan. Islam menganggap bahwa keindahan mutlak hanya ada dalam diri Tuhan dan dalam kehendaknya yang diwahyukan dalam firmannya.13

C.Pemikiran Kalam Hasan Hanafi
a.Kritik terhadap teologi tradisional
Dalam gagasannya tentang rekrontuksi teologi tradisional, Hanafi menegaskan perlunya mengubah orientasi perangkat kopseptual system kepercayaan (teologi) sesuai dengan perubahan konteks politik yang terjadi. Teologi tradisional, kata hanafi, lahir dalam konteks sejarah ketika inti keislaman system kepercayaan, yakni transidensi Tuhan, diserang oleh wakil dari sekte budaya lama. Teologi itu dimaksudkan untuk mempertahankan doktrin utama dan memelihara kemurniannya. Sementara itu, konteks social
11)Ibid, hlm. 149, 151, dan 154.
12)Ibid, hlm. 176.
13)Ibid, hlm. 207.

politik sudah berubah. Islam mengalami kekalahan diberbagai medan pertempuran sepanjang periode kolonialisasi. Oleh karena itu, kerangka konseptual lama masa – masa permulaan, yang berasal dari kebudayaan klasik, harus diubah menjadi kerangka konseptual baru yang berasal dari kebudayaan modern.14
Selanjutnya, Hanafi memandang bahwa teologi bukanlah pemikiran murni yang hadir dalam kehampaan kesejarahan, melainkan merefleksikan konflik – konflik social politik. Oleh karena itu, kritik teologi memang merupakan tindakan yang sah dan dibenarkan. Sebagai produk pemikiran manusia, teologi terbuka untuk kritik. Menurut Hanafi teologi sesungguhnya bukan ilmu tentang Tuhan, yang secara etimologi berasal dari kata theos dan logos, melainkan ilmu tentang kata (ilm al-kalam).15
Teologi demikian, lanjut Hanafi, bukanlah ilmu tentang Tuhan, karma Tuhan tidak tunduk pada ilmu, Tuhan mengungkapkan diri dalam sabdanya yang berupa wahyu. Ilmu kata adalah tafsir yaitu ilmu hermeneutic yang mempelajari analisis percakapan (discourse analysis), bukan saja dari segi bentuk – bentuk murni ucapan, melainkan juga dari segi konteksnya, yakni pengertian yang merujuk kepada dunia. Adapun wahyu sebagai manifestasi kemauan Tuhan, yakni sabda yang dikirim kepada manusia mempunyai muatan – muatan kemanusiaan.16
Hanafi ingin meletakkan teologi islam tradisional pada tempat yang sebenarnya, yakni bukan pada ilmu ketuhanan yang suci, yang tidak boleh dipersoalkan lagi dan harus diterima begitu saja secara taken for granted. Ia adalah ilmu kemanusiaan yang tetap terbuka untuk diadakan verifikasi dan falsifikasi, baik secara histories maupun edities.17
Secara praxis, Hanafi juga menunjukkan bahwa teologi tradisional tidak dapat menjadi sebuah “pandangan yang benar – benar hidup” dan memberi motivasi tindakan dalam kehidupan kongkret umat manusia. Secara praxis teologi tradisional gagal menjadi semacam ideology yang sungguh – sungguh fungsional bagi kehidupan nyata masyarakat muslim. Kegagalan para teolog tradisional disebabkan oleh sikap para penyusun teologi yang tidak
14)E.Kusnadiningrat, Teologi dan Pembebasan : Gagasan Islam Kiri Hanafi, Logos, Jakarta, 1999, hlm. 63-64.
15)Ridwan, Op, cit, hlm 45.
16)Ibid, hlm. 46.
17)Ibid, hlm. 47.
mengaitkannya dengan kesadaran murni dan nilai – nilai perbuatan manusia. Akibatnya, muncul perpecahan keimanan teoritik dengan amal praktisnya dikalangan umat. Ia menyatakan, baik secara individual maupun social, umat islam dilanda keterceraiberaian dan terkoyak – koyak. Secara individual, pemikiran manusia terputus dengan kesadaran, perkataan maupun perbuatannya. Keadaan itu akan mudah melahirkan sikap – sikap moral ganda (an-nifaq hypocrisy) atau senkretisme kepribadian (muzawwij assyahyyali). Fenomena sinkretis ini tanpak dalam kehidupan umat islam saat ini :sinkretisme antara kultur keagamaan dan sekularisme (dalam kebudayaan), antara tradisional dan modern (peradapan), Timur dan Barat (politik), antara konversatisme dan progresivisme (social) dan antara kepitalisme dan sosialisme (ekonomi).18
Secara histories, teologi telah menyingkap adanya benturan berbagai kepentingan dan ia syarat dengan konflik social politik. Teologi telah gagal pada dua tingkat: pertama, pada tingkat teoritis, yaitu gagal mendapat pembuktian ilmiah filosofis, dan kedua, pada tingkat praxis, yaitu gagal karena hanya menciptakan apatisme negativisme.19
b.Rekonstruksi teologi
Melihat sisi – sisi kelemahan teologi tradisional, Hanafi lalu mengajukan saran rekonstruksi teoloogi menjdai ilmu-ilmu yang bermanfaat bagi masa kini, yaitu dengan melakukan rekonstruksi dan revisi, serta membangun kembali epistemology baru yang shahih dan lebih signifikan. Tujuan rekonstruksi teologi hanafi adalah menjadikan teologi tidak sekedar dogma-dogma keagmaan yang kosong, melainkan menjelma sebagai ilmu tentang pejuang social, yang menjadikan keimanan-keimanan tradisional memilki fungsi secar actual sebagai landasan etik dan motivasi manusia.20
Sistem kepercayaan sesungguhnya mengekspresikan bangunan social tertentu. Sistem kepercayaan menjadikan gerakan social sebagai gerakan bagi kepentingan mayoritas yang diam (al-aglabiyah as-sinitah the majority) sehingga sistem kepercayaan memiliki fungsi visi. Karena memiliki fungsi revolusi, tujuan final rekonstruksi teologi tradisional adalah revolusi sosial.
18)Ibid, hlm. 47.
19)Ibid, hlm. 48.
20)Ibid, hlm. 49.
Menilai revolusi dengan agama dimasa sekarang sama halnya dengan mengaitkan filsafat dengan syariat di masa lalu, ketika filsafat menjadi tuntutan zaman saat itu.21
Langkah melakukan rekonstruksi teologi sekurang – kurangnya dilatar bekalang oleh tiga hal berikut :
1.Kebutuhan akan adanya ediologi yang jelas ditengah – tengah pertarungan global antara berbagai idiologi.
2.Pentingnya teologi baru ini bukan semata pada sisi teoritisnya, melainkan juga terletak pada kepentingan praktis untuk secara nyata mewujudkan ideologi sebagai gerakan dalam sejarah. Salah satu kepentingan teologi ini adalah memecahkan problem pendudukan tanah dinegara – negara muslim.
3.kepentingan teologi yang bersifat praktis (amaliyah fi’liyah) yaitu secara nyata diwujudkan dalam realitas melalui realisasi tauhid dalam dunia islam. Hanafi menghendaki adanya “teologi dunia” yaitu teologi baru yang dapat mempersatukan umat islam dibawah satu orde.22
Menurut Hanafi, rekonstruksi teologi merupakan salah satu cara yang mesti ditempuh jika mengharapkan agar teologi dapat memberikan sumbangan yang kongkret bagi sejarah kemanusiaan. Kepentingan rekonstruksi itu pertama – tama untuk mentranspormasikan teologi menuju antropologi, menjadikan teologi sebagai wacana tentang kemanusiaan, baik secara eksistensial, kognitif, maupun kesejarahan.
Selanjutnya Hanafi menawarkan dua hal untuk memperoleh kesempurnaan teori ilmu dalam teologi islam yaitu :
1.Analisis bahasa: Bahasa serta istilah – istilah dalam teologi tradisional adalah warisan neneng moyang dibidang teologi, yang merupakan bahasa khas yang seolah – olah menjadi ketentuan sejak dulu. Teologi tradisional memiliki istilah – istilah khas seperti Allah, iman, akhirat. Menurut Hanafi, semua ini sebenarnya menyingkapkan sifat – sifat dan metode keilmuan, ada yang empirik-rasional seperti iman, amal dan imamah, dan ada yang historis seperti nubuwah serta ada pula yang metafisik seperti Allah dan akhirat.

21)Ibid, hlm, 50.
22)Ibid hlm, 51
2.Analisis realitas : analisis ini dilakukan untuk mengetahui latar belakang historis-sosiologis munculnya teologi dimasa lalu, mendeskripsikan pengaruh – pengaruh nyata teologi bagi kehidupan masyarakat, dan bagaimana ia mempunyai kekuatan mengarahkan terhadap perilaku para pendukungnya. Analisis realitas ini berguna untuk menentukan stressing kearah mana teologi kontemporer harus diorientasikan.23


























23)Ibid hlm, 51

DAFTAR PUSTAKA
Faruqi, Isma’il Raji, At – Tauhid, terjemah. Rahmani Astuti, Pustaka, 1982.
Kusnadiningrat, Teologi Pembebasan : Gagasan Islam Kiri Hasan Hanafi, Logos, Jakarta, 1999.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar